Kamis, 08 Maret 2012

SEJARAH PULAU LOMBOK

Sejarah

Kerajaan Selaparang merupakan salah satu kerajaan tertua yang pernah tumbuh dan berkembang di pulau Lombok, bahkan disebut-sebut sebagai embrio yang kemudian melahirkan raja-raja Lombok masa lalu. Terbukti penamaan pulau ini juga sering disebut sebagai bumi Selaparang atau dalam istilah lokalnya sebagai Gumi Selaparang.
Asal muasal Setidak-tidaknya ada tiga pendapat tentang asal muasal kerajaan Selaparang (Buku Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat, 2002).

Pertama,

disebutkan bahwa kerajaan ini merupakan proses kelanjutan dari kerajaan tertua di pulau Lombok, yaitu "Kerajaan Desa Lae" yang diperkirakan berkodudukan di Kecamatan Sambalia, Lombok Timur sekarang. Dalam perkembangannya masyarakat kerjaan ini berpindah dan membangun sebuah kerajaan baru, yaitu kerajaan Pamatan di Kecamatan Aikmel dan diduga berada di Desa Sembalun Sekarang.
Dan ketika Gunung Rinjani meletus, penduduk kerajaan ini terpencar-pencar yang menandai berakhirnya kerajaan. Betara Indra kemudian mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Suwung, yang terletak di sebelah utara Perigi sekarang.Setelah berakhirnya kerajaan yang disebut terakhir, barulah kemudian muncul Kerajaan Lombok atau Kerajaan Selaparang.

Kedua,

disebutkan bahwa setelah Kerajaan Lombok dihancurkan oleh tentara Majapahit, Raden Maspahit melarikan diri ke dalam hutan dan sekembalinya tentara itu Raden Maspahit membangun kerajaan yang baru bernama Batu Parang yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Selaparang.

Ketiga,

disebutkan bahwa pada abad XII, terdapat satu kerajaan yang dikenal dengan nama kerajaan Perigi yang dibangun oleh sekelompok transmigran dari Jawa di bawah pimpinan Prabu Inopati dan sejak waktu itu pulau Lombok dikenal dengan sebutan Pulau Perigi. Ketika kerajaan Majapahit mengirimkan ekspedisinya ke Pulau Bali pada tahun 1443 yang diteruskan ke Pulau Lombok dan Dompu pada tahun 1357 dibawah pemerintahan Mpu Nala, ekspedisi ini menaklukkan Selaparang (Perigi?) dan Dompu.

Bahasa

nampi Dengan mengacu kepada ahli sejarah berkebangsaan Belanda, L. C. Van den Berg yang menyatakan bahwa, berkembangnya Bahasa Kawi sangat mempengaruhi terbentuknya alam pikiran agraris dan besarnya peranan kaum intelektual dalam rekayasa sosial politik di Nusantara.
Fathurrahman Zakaria (1998) menyebutkan bahwa para intelektual masyarakat Selaparang dan Pejanggik sangat mengetahui Bahasa Kawi. Bahkan kemudian dapat menciptakan sendiri aksara Sasak yang disebut sebagai jejawen. Dengan modal Bahasa Kawi yang dikuasainya, aksara Sasak dan Bahasa Sasak, maka para pujangganya banyak mengarang, menggubah, mengadaptasi, atau menyalin manusia Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak.

Lontar-lontar dimaksud, antara lain Kotamgama, lapel Adam, Menak Berji, Rengganis, dan lain-lain. Bahkan para pujangga juga banyak menyalin dan mengadaptasi ajaran-ajaran sufi para walisongo, seperti lontar-lontar yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada dan Lontar Nurcahya. Bahkan hikayat-hikayat Melayu pun banyak yang disalin dan diadaptasi, seperti Lontar Yusuf, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Sidik Anak Yatim, dan sebagainya.

Dengan mengkaji lontar-lontar tersebut, menurut Fathurrahman Zakaria (1998) kita akan mengetahui prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman dalam rekayasa sosial politik dan sosial budaya kerajaan dan masyarakatnya.

Dalam bidang sosial politik misalnya, Lontar Kotamgama lembar 6 lembar menggariskan sifat dan sikap seorang raja atau pemimpin, yakni Danta, Danti, Kusuma, dan Warsa. Danta artinya gading gajah; apabila dikeluarkan tidak mungkin dimasukkan lagi. Danti artinya ludah; apabila sudah dilontarkan ke tanah tidak mungkin dijilat lagi. Kusuma artinya kembang; tidak mungkin kembang itu mekar dua kali. Warsa artinya hujan; apabila telah jatuh ke bumi tidak mungkin naik kembali menjadi awan. Itulah sebabnya seorang raja atau pemimpin hendaknya tidak salah dalam perkataan.

Selain itu, dalam lontar-lontar yang ada diketahui bahwa istilah-istilah dan ungkapan yang syarat dengan ide dan makna telah dipergunakan dalam bidang politik dan hukum, misalnya kata hanut (menggunakan hak dan kewajiban), tapak (stabil), tindih (bertata krama), rit (tertib), jati (utama),tuhu (sungguh-sungguh), bakti (bakti, setia), atau terpi (teratur).

Dalam bidang ekonomi, seperti itiq (hemat), loma (dermawan), kencak (terampil), atau genem (rajin). Pariwisata Lombok dalam banyak hal mirip dengan Bali, dan pada dasawarsa tahun 1990-an mulai dikenal wisatawan mancanegara. Namun dengan munculnya krismon dan krisis-krisis lainnya, potensi pariwisata agak terlantarkan.

Lalu pada awal tahun 2000 terjadi kerusuhan antar-etnis dan antar agama di seluruh Lombok sehingga terjadi pengungsian besar-besaran kaum minoritas. Mereka terutama mengungsi ke pulau Bali.


Sejarah Lombok Barat


Pada masa Pemerintah Hindia Belanda Wilayah Kabupaten Lombok Barat merupakan salah satu Onder Afdeling dibawah Afdeling Lombok van west Lombok yang dipimpin oleh seorang Controleur menurut hirarki kelembagaan sama dengan Regenschap (Kabupaten).Selanjutnya pada zaman Pemerintah Jepang disebut Bun Ken. Dibawah Pemerintahan NICA tergabung Kabupaten tergabung dalam wilayah Neo Landschap Lombok. Setelah Konfrensi Meja Bunda dan pemulihan kekuasaan Negara RI pada 27 desember 1949, dan menurut UU Pemerintrah Daerah NTT No. 44 Tahun 1950, wilayah administrasi Lombok Barat, mebawahi wilayah administrasi kedistrikan Ampenan Barat, Ampenan Timur, kedistrikan Tanjung, Bayan dan kedistrikan Gerung, Asisten kedistrikan Gondang dan Kepunggawaan Cakranegara
Kabupaten Lombok Barat, kemudian berdasarkan Undang – undang Nomor  69 Tahun 1958, dengan Keputusan Menteri  Dalam Negeri No. Up.7/14/34 dengan mengangkat  J.B Tuhumena Maspeitella sebagai Pejabat Sementara Kepala Daerah Swatantra Tk.II Lombok Barat yang pelantikannya dilaksanakan pada tanggal, 17 April 1959 yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya Kabupaten Lombok Barat, dan dijadikan sebagai hari peringatan setiap tahun.
Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1978 dibentuk Kota Administrasi Mataram, kemudian dengan UU. No. 4 Tahun 1993 tentang pembentukan  Kota Madya Mataram dari  pemekaran wilayah administrasi Kabupaten Lombok Barat yaitu  mewilayahi 3 Kecamatan yaitu  ( Ampenan, Cakranegara dan Kecamatan Mataram). Selanjutnya berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2008 tentang pembentukan Kabupaten Lombok Utara ( KLU) yang mewilayahi 5 (lima) kecamatan di Kabupaten Lombok Barat Bagian Utara yaitu ( Kecamatan Pemenang, Tanjung, Gangga, Kayangan dan Kecamatan Bayan), dengan pelantikan Pejabat Bupati KLU pada tanggal, 30 Desember 2008, secara administrasi pembentuakan Kabupaten Lombok Utara (KLU) sudah resmi, sehingga Kabupaten Lombok Barat saat ini  mewilayahi  10 (sepuluh) kecamatan,    88    desa difinitif, 13 desa persiapan dan    657  dusun.
Jumlah Kecamatan, Desa dan Dusun se Kabupaten Lombok Barat 2010

No
Kecamatan
Desa
Dusun
1
2
3
4
1
Gunungsari
14
89
2
Batulayar
6
52
3
Lingsar
11
71
4
Narmada
17
112
5
Labupi
10
55
6
Kediri
10
69
7
Kuripan
4
36
8
Gerung
14
72
9
Lembar
8
45
10
Sekotong Tengah
7
56

Lombok Barat
111
657



SISI LAEN SEJARAH LOMBOK

RIWAYAT BALOQ JAWE.
Cuplikan perang praya.
Seorang Arab yang mengaku dirinya turunan Syarif bertugas keluar masuk desa membawa berita susah senangnya penghidupan dibawah pemerintahan Anak Agung. Praya akan berontak terhadap kekuasaan Anak Agung. Itu yang disepakati Mamiq Srinate, Guru Semail dan Tuan Serip.
Yang akan menjadi kepala perang disepakati Tuan Serip. Tinggal menunggu hari baik (dewase) untuk memulai. Mamiq serinata membujuk orang2 kampung untuk ikut dalam penyerangan. Pada Bulan Muharam hari jumat tanggal …………. (hal 92), meminta kesiapan para kerabat, handai tolan dan sahabat untuk memulai perang.
Pada malamnya Haji Yasin dan Haji Dolah datang kepada Guru Semail. Mereka diberitahu dan dimintai pendapat mengenai rencana penyerangan keesokan harinya. Keduanya mempertanyakan jumlah desa-desa yang akan ikut terlibat. Guru semail menjawab berdasarkan informasi yang disampaikan Tuan Syarif bahwa soroh timuq (desa-desa disebelah timur Praya seperti Jerowaru – Penendem), Sakra, masbagik dan Rarang) telah menyatakan kesediaannya untuk terlibat.
Guru Semail menambahkan bahwa Jerowaru dan Pijot akan ikut menyerang puri Raja Bali di Cakranegara. Begitu Juga dengan Puyumg, Kopang, Batukliang, Penujak, Jenggala, Jelantik, Sukarara dan Kediri. Semuanya telah sepakat untuk ikut serta. Mereka akan menggempur Cakra dengan menembus pasukan Raja Bali di sebelah timur Juring. Guru Semail juga menyampaikan saran Tuan Syarif agar penyrangan disegerakan.
Nampaknya Haji Yasin masih belum yakin dengan informasi Guru Semail. Ia mempertanyakan apakah sudah ada ketrangan tertulis dari masing-masing desa tersebut karena banyak desa yang belum mengenal Sayid Abdullah. Guru Semail menegaskan bahwa sampai saat itu belum ada keterangant dimaksud, dan informasi dari Tuan Serip sudah dianggap mencukupi.
Haji Yasin kemudian menilai bahwa informasi itu saja belum cukup. Ia berpendapat bahwa penyerangan akan berakibat pada kesulitan besar dikemudian hari yang ditanggapi singkat oleh Guru Semail. Guru Semail menegaskan bahwa hukumnya sudah wajib. Andaikan tak ada yang mendukung, sendirianpun beliau tidak akan mengurungkan niatnya untuk perang sabil berdasarkan fatwa Tuan Serip. Tuan Serip adalah anak cucu Rasulullah, karena itu Haram bagi beliau untuk mengurungkan niatnya.
Mendapat tanggapan yang demikian itu Haji Yasin dan Haji Dolah melanjutkan perjalanannya ke Penujak. Sebelum berangkat sekali lagi Haji Yasin meminta ketegasan dari Guru Semail. Guru Semail memperingatkan Haji Yasin agar menghentikan komentarnya karena disekitar ada mata-mata orang Bali yang menyamar menjadi utusan Anak Agung untuk minta tenaga pengayah.
Melalui Haji Yasin, berita mengenai rencana penyerangan Guru Semail sampai kepada Mamiq Sapian, seorang pemekel Raja Bali di Praya. Selain itu berita juga telah menyebar ke seluruh pelosok Praya yang menyebabkan berbondong-bondongnya para pemuka Praya mendatangi Mamiq Sapian. Mereka meminta kejelasan sikap Mamiq Sapian terhadap rencana penyerangan tersebut. Dalam kesempatan tersebut Mamiq Sapian menyampaikan pandangannya. Menurutnya, apabila tidak terlibat, sejarah akan mengenangnya sepanjang masa sebagai pengecut. Mamiq Sapian menyatakan ketegasan sikapnya untuk bersama-sama dengan Guru Semail. Beliau kemudian menanyakan sikap yang hadir. Semua yang hadir menyatakan diri akan ikut serta dengan pertimbangan kalaupun mereka berdiam diri, mereka tidak akan luput dari dikirim ke tempat yang sangat jauh ke pulau Bali sebagai pasukan raja Bali. Untuk itu mereka menyatakan lebih baik bersama-sama hancur bersama pimpinan mereka. Mendengar jawaban yang seperti itu Mamiq Sapian menyatakan kepuasannya dan meminta mereka pulang dan mempersiapkan diri. Sebab, besok perang akan dimulai.
Keesokan harinya, sebelum hari petang, pasukan Praya mulai bergerak menuju Cakra. Sementara itu, berita mengenai rencana penyerangan oleh Praya telah sampai ke Anak Agung melalui salah seorang premamiq yang tidak ikut berperang. Konon ia langsung menghadap Anak Agung dan menyampaikan berita tersebut. Pasukan Bali bersama Pemating Selam segera dipersiapkan. Dibawah pimpinan Anak Agung Made Jelantik, pasukan raja berangkat ke Praya melalui Bengkel dan Kediri.
Ketika pasukan Praya sampai di Puyung, mereka tidak diijinkan memasuki desa. Puyung ingkar janji untuk ikut berperang. Pasukan akhirnya terus bergerak ke barat melalui luar desa. Di Pakukeling kedua pasukan bertemu dan pertempuran sengit tak bisa dihindarkan lagi. Pertembpuran berkecamuk sampai Kediri Timuq Jebak. Pasukan praya dapat dipukul mundur dan Raja Anak Agung bertahan di Puyung.
Sementara itu Tuan Serip berkeliling ke desa-desa, terutama ke desa-desa sorohan timuk, seperti Jerowaru, dan Sakra untuk menyampaikan kabar Congah Praya.

Keadaan Jerowaru Menjelang Perang Praya (1891M)

Menurut penuturan orang-orang tua, Wilayah Jerowaru saat itu meliputi hampir semua wilayah kecamatan Keruak dan Jerowaru saat ini, ditambah wilayah kecamatan Sakra bagian selatan. Disebelah utara sampai perbatasan antara Montong Galeng dan Montong Tengari, dan disebelah barat sampai pantai Awang.
Seperti halnya desa-desa lain di pulau Lombok, Jerowaru dipimpin oleh seorang kepala desa yang secara langsung bertanggungjawab kepada raja Anak Agung di Cakranegara. Semenjak Kedatuan Pena masih eksis, kepemimpinan Jerowaru dipegang oleh keluarga Guru Alim secara turun temurun. Setelah Pena runtuh dan kekuasaan raja Bali dipegang oleh Anak Agung Made, kepemimpinan Jerowaru berpindah ke Daeng Masje dari keturunan Sumbawa. Perpindahan ini konon disebabkan karena keengganan mereka untuk maturang kepada Anak Agung yang semakin tidak mempedulikan nasib rakyat Sasak. Selanjutnya segala urusan dengan raja Bali diserahkan kepada Daeng Masje yang saat itu menjadi petugas yang mengantar surat – surat penting ke Cakranegara. Anak Agung kemudian mengakuinya sebagai kepala desa Jerowaru. Daeng Masje kemudian digantikan oleh anaknya Lalu Sinudin yang dikenal dengan sebutan Jero Ocet.
Pada masa kepemimpinan Jero Ocet inilah, hubungan Anak Agung dan Jerowaru menjadi sangat dekat. Menurut Babat Mengwi Praya, ketika terjadi pemberontakan Mengwi terhadap karangasem di pulau Bali, para punggawa Jerowaru dan sakra sebanyak 300 orang, Tanjungluar, Pijot, dan Peleba sebanyak 200 orang hendak dikirim ke Pulau Bali untuk membantu pasukan karangasem menumpas pemberontakan mengwi. Mereka dibawah pimpinan pembekel Bali Ide Bagus Jelantik. (Babat Mengwi Praya hal 80) Karena jumlah perahu jemputan dari Karangasem hanya satu, maka hanya tiga desa yang jadi dikirim yaitu Jerowaru, Tanjungluar dibawah pimpinan Loq Tambora, dan Bali Mendana. Jumlah mereka tercatat sebanyak 100 orang.
Di Mendana sendiri diceritakan terdapat perkampungan Bali. Disana berdiam seorang pembekel Bali bernama Ida Bagus Jelantik.

Setelah meletus perang Praya, Jerowaru terbelah dua dan terjadi dualisme kepemimpinan. Sebagian wilayah Jerowaru yang masih setia kepada Anak Agung tetap mengakui Jero Ocet sebagai kepala Desa. Sedangkan yang mendukung Praya menganggap Guru Alim sebagai Pemimpin mereka. Dualisme kepemimpinan ini seringkali menimbulkan konflik kebijakan antar Jero Ocet dan Guru Alim.
Ketika Jero ocet memerintahkan hukuman mati terhadap beberapa penduduk Jerowaru yang dituduh selaq, Guru Alim menentang dan membatalkan hukuman tersebut, bahkan menjamin bahwa para terhukum sebenarnya tidak bersalah, tapi hanya sekedar alasan untuk menguasai harta benda mereka, karena rata-rata para terhukum memiliki sawah yang luas. Sikap Guru Alim semacam itu jelas membatasi kewenangan kepala desa dan dalam banyak hal menjadi penghambat pelaksanaan kebijakan.
Karena kepala Desa Jerowaru dan penduduk desa masih banyak yang setia kepada Raja Bali. Untuk kelancaran persiapan perang, Guru Alim kemudian Pindah dan menetap di sebuah perkampungan sebelah utara Jerowaru yang kemudian dikenal dengan Penendem.
Dalam perkembangan selanjutnya, Penendem menjadi pusat pertahanan Jerowaru yang sekaligus sebagai padepokan yang menjadi titik pemberangkatan pasukan ke Praya. Menurut cerita-cerita orang tua, Pasukan dari desa-desa soroh timuq lainya ke utara meliputi Sakra Barat Mesjid, Kalitemu, sampai Kilang Montok Betok yang menuju Praya diberangkatkan dari Penendem oleh Guru Alim. Konon efek magis pemberangkatan tersebut baru terasa sekitar satu kilometer sebelah barat penendem, dan dari sana para pasukan mulai ngumbang. Tempat tersebut sampai sekarang disebut Pengombang.
Dalam perang Praya tersebut tercatat tokoh-tokoh Jerowaru seperti Tuan Suliwang dari Wakan Tinggi, Bp Kebejin dari Sepapan, dan Amaq Gancang dari Pengampong. Mereka dikenang sebagai perwira tangguh yang menyertai Guru Alim. Tuan Suliwang dikenal dalam keahliannya membuat pedang dan merakit senapan lela. Dalam hal peperangan, Guru alim tidak hanya sebagai pemimpin, tetapi juga difungsikan sebagai tokoh spiritual yang memberangkatkan semua pasukan dan membekali mereka dengan berbagai alat pertahanan diri seperti sabuk jimat Sapudarat, minyak Toaq Tembeloq Ampan Lolat, dan bubus perang Bale Siu. Konon bubus perang tersebut diracik husus untuk menangkal senjata lontar seperti peluru bedil, ketapel dan tulup. Diriwayatkan bahwa bubus perang tersebut juga dibawa ke Praya. Ketika pasukan akan berangkat dari Praya, bubus tersebut direndam di telaga mesjid dan orang-orang yang akan berangkat perang diminta mandi terlabih dahulu untuk membentengi diri.
Diriwayatkan bahwa di medan perang Guru Alim tidak menggunakan pedang, tombak atau bedil. Beliau hanya menggunakan lempengan besi tumpul sepanjang satu meter mirip pedang. Ketika akan berangkat ke Praya lempengan tersebut diikatkan pada tapak tangan dengan tali benang untuk mencegah lepasnya dari tangan ketika mengamuk. Dan untuk membukanya setelah pulang, tangan harus direndam dengan air hangat terlebih dahulu untuk membersihkan darah musuh yang telah membeku. Baru tali pengikat pedang bisa dibuka. Sebagai kendaraan beliau menggunakan seekor kuda yang dijuluki Barong Tengkok.
Sebagai simbol kelanjutan dari perang Pena sebelumnya, Guru alim mengambil batu yang biasa dipergunakan sebagai penggiling bubus perang datu Pena dan menanamnya di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai tempat pinendeman (pemendaman) batu, yang konon dari istilah tersebut diperkirakan kata Penendem muncul. Sampai sekarang batu tersebut masih dipergunakan untuk keperluan keperluan sejenis.
Kampung-kampung yang tercatat terlibat dalam perang Praya dibawah pimpinan Guru Alim di wilayah Jerowaru meliputi Sepapan dibawah pimpinan Bapak Kebejin, Wakan dibawah pimpinan Tuan Suliwang, Pengampong dibawah pimpinan Amaq Gancang. Sedangkan para keluarga dan sahabat dari kampung-kampung lain yang mayoritas penduduknya masih setia kepada Anak Agung seperti Senyiur, Mendana, Jerowaru, Paek, dan sebagainya ikut bergabung secara diam-diam dan sendiri sendiri.
Menurut penuturan orang tua, Selain Guru Alim, peranan Balok Syarifah istrinya tak kalah penting. Baloq Syarifah memimpin para wanita mempersiapkan perbekalan perang berupa konsumsi. Selain itu bila Guru Alim sedang berada di garis depan, beliaulah yang menggantikannya memberangkatkan pasukan. Sekali waktu beliau juga diceritakan ikut pasukan perang ke Praya.
Selama Perang Praya berlangsung, tercatat hanya satu orang korban meninggal dari pasukan Jerowaru. Konon ketika akan diberangkatkan, semua anggota pasukan ditilik terlebih dahulu dengan ilmu tilik perang. Setelah melakukan upacara tertentu, konon Guru Alim dapat mendeteksi siapa saja yang bakal mendapat musibah. Karena itu mereka tidak diijinkan untuk ikut berangkat perang. Salah seorang pemuda yang yang terdeteksi akan mendapat musibah secara diam-diam telah ikut berangkat ke Praya. Pemuda tersebut akhirnya menjadi korban perang satu-satunya dari pihak Jerowaru. Jenazahnya dikuburkan di dekat rumah Guru Alim.
Pada saat Pasukan Praya terdesak dan sebagian Praya dapat dikuasai, Pasukan Bali bersama pemating bergerak ketimur dan menjarah desa-desa yang dilaluinya. Para penduduk desa terdekat seperti Semoyang, dan Ganti mengugsi kedaerah2 yang lebih aman, terututama ke wilayah Penendem. Banyak diantara mereka yang mati karena kelaparan dan penyakit dan dikuburkan disana. Sampai saat ini di Pekuburan Penendem dan disekitarnya banyak ditemukan kuburan orang-orang Ganti, Semoyang dan Marong. Bahkan di penendem terdapat sebuah pekuburan pengungsi perang yang sampai saat ini disebut Kubur Semoyang.
Suatu saat Pasukan Bali bersama Pemating berhasil menembus sampai di eat Longkang, sebelah barat Penendem. Saat itu di rumah Guru Alim sedang berlangsung pesta pernikahan adiknya. Pesta dihadiri oleh keluarga dan sahabat dari berbagai penjuru desa sampai ke Lombok Barat. Laporan tentang kehadiran musuh tersebut disampaikan oleh para penyanggre yang berjaga-jaga di Bagiq Polak. Para penyanggre ini memantau kehadiran musuh dari atas pohon asam. Konon pernah ada seorang penyanggre yang terjatuh dari pohon sampai polak (patah tulang) sehingga tempat tersebut kemudian disebut Bagiq Polak.
Pesta perkawinan berubah menjadi pesta perang. Guru Alim bersama seluruh tamu undangan menahan laju musuh di sebelah timur eat. Pertempuran sengit tak bisa dielakkan. Pasukan Bali terdesak dan menyingkir masuk padang ilalang di sebelah utara Longkang. Mereka berupaya agar bisa tembus ke timur untuk mencapai Mendana. Guru Alim memerintahkan membakar padang ilalang tersebut. Sebagian pasukan Bali dan Pemating terperangkap di tengah padang dan mati terpanggang. Sebagian lagi mundur dan melarikan diri.
Perang Praya telah menyulut peperangan diseluruh desa di pulau Lombok. Selain yang bergabung dengan pasukan praya menghadapi pasukan Bali dan Pematingnya, di masing - masing desa berkecamuk peperangan yang menggempur para perbekel Bali bersama keluarga dan pengikutnya. Pasukan dibawah pimpinan Guru Alim menyerbu mendana. Ida Bagus Jelantik dan keluarganya berhasil menyelamatkan diri ke Jerowaru, dan atas bantuan kepala desa jerowaru selanjutnya mengungsi ke Cakranegara melalui kawasan hutan sekaroh.

Kesalahpahaman dan Insiden Penyabukan.

Beberapa hari setelah meletusnya perang Anak Agung mendapatkan tambahan pasukan dari Mataram. Posisi Praya mulai terdesak. Tuan Serip bersama beberapa keluarga Praya berkeliling ke desa-desa Soroh Timuq untuk mengkonsolidasikan pasukan dari desa-esa yang telah sepakat mendukung Praya. Diriwayatkan bahwa pada suatu malam, Guru Alim kedatangan dua orang tamu dari keluarga Praya dalam rangka membicarakan situasi dan strategi perang. Keesokan harinya pagi-pagi benar keduanya melanjutkan perjalanan ke Jerowaru. Disuatu tempat di pesawahan penyabukan mereka bertemu dengan beberapa penyanggre yang bertugas memintai keterangan orang-orang asing yang memasuki wilayah Jerowaru. Sebagai upaya pengamanan Pada waktu itu telah disepakati awig-awig yang menentukan bahwa setiap orang asing yang memasuki Jerowaru harus dilucuti senjatanya. Ketika kedua orang tamu dari Praya tersebut akan dilucuti senjatanya, mereka menolak karena itu senjata pusaka. Senjata itu berupa sebelah keris pusaka ingkel paksi, ganje iras, luk dungkul, pamor sure. Selain itu mereka juga merasa tidak menjadi musuh Jerowaru. Tetapi karena keduanya tidak dapat menujukkan bukti tertulis dari Guru Alim atau pengiring yang menjamin keselamatan mereka, para penyanggre bersikeras melucutinya. Kesalahpahaman tersebut berakhir dengan pertarungan.
Dalam pertarungan tersebut beberapa penyanggre terbunuh. Segera tersiar kabar bahwa musuh telah sampai di penyabukan dan telah berhasil membunuh para penyanggre. Dengan tulup pusaka dari pengampong, Amaq Jap pemimpin Lepok berhasil mebunuh kedua tamu yang mengamuk tersebut.
Berita tentang peristiwa tersebut membuat Guru Alim menjadi sangat prihatin. Beberapa utusan segera dikirim ke Praya untuk menyampaikan berita duka. Karena situasi perang yang tak menentu para utusan tidak berkesempatan menjelaskan rincian kejadian tersebut. Dari sebagian kalangan keluarga Praya terdengar isu seolah-olah Guru Alimlah yang memerintahkan pembunuhan tersebut. (Ket. Alm. TGH. L. Faisal Praya sebagai ahli waris, seperti yang diceritakan Am. Maroan dari Penendem saat klarifikasi permasalahan dengan keluarga Praya pada tahun 2003 di Praya). Kedua tamu tersebut kemudian dimakamkan di pekuburan Kuang.

Campur Tangan Belanda dan Keruntuhan Cakranegara.

Perang yang berkepanjangan dan merata di seluruh pulau lombok telah menjadikan penderitaan dimana-mana. Kelaparan dan penyakit telah menjadi pemandangan dan bagian dari kehidupan sehari-hari. Sementara itu tidak dapat diperkirakan kapan perang akan berakhir. Pengungsian terjadi dimana mana. Aturan hukum raja Bali sudah tidak bisa berlaku lagi. Hukum rimba berlaku dimana-mana. Setiap orang memjadikan dirinya sebagai pemimpin.

Kenyataan ini mendorong para pemimpin sasak untuk menyurati dan meminta campur tangan Belanda dalam penyelesaian konflik sasak dan pemerintah bali. Inisiatif berasal dari mamiq Mustiaji dari kopang yang didukung oleh mayoritas pemimpin sasak. Guru Semain, Mamiq Ocet Talip, Guru Alim, dan Said Abdullah menyatakan keberatannya karena mereka memandang dari sudut agama. Tapi mereka kalah suara.

Campur tangan militer belanda yang seolah-olah berpihak pada perjuangan Sasak mendapat simpati dimana-mana. Bersama pejuang sasak, belanda akhinya dapat menaklukkan Anak Agung dan pasukannya. Anak agumg menyerah pd tahun 1894.

Belanda medaratkan pasukannya dan mulai melakukan pembersihan di suatu sisi dan disisi lainya menanamkan simpati. Desa-desa Sasak yang berpengaruh pada saat itu diantaranya adalah Praya, Kopang, Masbagik, Rarang, Mantang, Pringgabaya, Sakra dan Jerowaru. Oleh pemerintah belanda Sakralah yang dianggap paling potensial ditonjolkan menjadi pemimpin sasak. Untuk alasan itu Sakra memperoleh keistimewaan yang tidak diperoleh desa-desa lainnya. Sebagai legitimasi atas kepemimpinan sasak tersebut, belanda menyusun silsilah Sakra. Silsilah tersebut ditonjolkan sebagai legitimasi Sakra sebagai penerus Pejanggik. Dengan demikian kepemimpinan Sakra dapat diterima oleh mayoritas rakyat Sasak dan dengan sendirinya Belanda tidak akan mendapatkan rintangan yang berarti dalam penguasaan Sasak (Diskusi dengan L. Faisal Kediri, April 2007)
Sikap politik Said Alkadri bersama Guru Alim sejak semula telah cenderung anti Belanda. Setelah Anak Agung runtuh, Guru Alim bersama Said Alkadri, Guru Alkalimin dari Paek, dan Mamiq Ormat dari Jerowaru membuat padepokan di sekitar Makam Tompoq-ompoq di pinggir laut selatan. Ditempat itu mereka melatih para pemuda Jerowaru dalam rangka mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu di Praya diadakan beberapa kali pertemuan untuk membahas penulisan Babat Perang Praya. Dalam pertemuan itu Guru Alim meminta agar perjuangan Jerowaru tidak ditulis, sebagai bukti keikhlasan dalam ikut perang sabilillah.(Wawancara dengan alm. Fu’ad Tembeloq 1995) Peranan Jerowaru kemudian tidak banyak terekam dalam babat tersebut. Guru Alim sendiri tercatat dengan nama Guru Kalimah dari Jerowaru.(ket. Am. Sitirah)

Insiden Tompoq-ompoq dan Penangkapan oleh Belanda.

Dari hari kehari Makam Tompoq-ompoq menjadi semakin ramai. Para Pemuda dari berbagai kampung sekitar Jerowaru berdatangan untuk ditempa dengan berbagai ilmu. Salah satunya adalah ilmu yang diajarkan Tuan Sayid Abdullah Al-Kadri yang belakangan dikenal dengan Ilmu Tuan Sayyid atau Ilmu Raja Besi. Konon saat itu pemuda yang ditempa dengan ilmu tersebut sebanyak 40 orang. Menurut riwayat, tanda bahwa ilmu tersebut telah sempurna adalah dengan terlihatnya cahaya oleh si penuntut. Pada suatu kesempatan, seorang pemuda menyatakan telah dapat melihat kilasan sinar dimaksud yang ternyata sebenarnya adalah pantulan sinar bulan karena saat itu malam purnama. Dia meminta temannya agar dites ketangguhannya dengan senjata tajam. Akibatnya sudah dapat dipastikan. Setelah ditebas, pemuda tersebut terluka parah dan akhirnya tewas.
Berita tentang kematian peserta padepokan Tompoq-ompoq sampai kepada Kepala Desa Jerowaru yang telah lama mengamati perkembangannya secara diam-diam. Peristiwa itu kemudian dilaporkan kepada pihak Belanda. Menurut laporan Kepala Desa Jerowaru, Guru Alim, Said Alkadri, Mamiq Ormat, dan Guru Alkalimin, adalah tokoh-tokoh yang paling berpengaruh di Jerowaru saat itu. Mereka telah mengadakan padepokan dan mempersiapkan perang baru untuk melawan kekuasaan Belanda. Belajar dari Perang Praya dan Peranan Said Alkadri didalamnya, Belanda tidak mau ambil resiko. Bila dibiarkan, dapat dipastikan akan meletus perang Jerowaru menentang Belanda karena Said Al Kadri yang diyakini sebagai anak cucu Rasulullah, masih dianggap sebagai tokoh sakral dikalangan masyarakat sasak. Belanda akhirnya menangkap Guru Alim, Guru Alkalimin, dan Mamiq Ormat. Sedangkan Said Alkadri berhasil meloloskan diri ke Sumbawa dengan menyamar sebagai penjual rotan.(wawancara dengan TGH Muhtar Said). Ketiganya kemudian diasingkan ke Batavia sekitar akhir tahun 1896, dan selanjutnya dikirim ke Aceh.

Sebelas Tahun di Pembuangan.

Pada saat ketiganya diasingkan perlawanan rakyat Aceh menentang penjajahan Belanda semakin bergolak. Ini ditandai dengan berbaliknya Teuku Umar menyerang Belanda pada tahun 1896. Pemerintah Belanda menerapkan strategi baru dalam menumpas perlawanan rakyat Aceh sampai ke akar akarnya. Pemerintah Kompeni Belanda mengambil kebijakan mempergunakan para tawanan yang dianggap mumpuni untuk menghadapi perlawanan rakyat Aceh yang terkenal militan. Guru Alim, Guru Kalimin dan Mamiq Ormat kemudian dikirim ke Aceh bersama para tawanan lainnya. Di Aceh, mereka dihadapkan dengan pasukan Aceh yang diketahui sesama Muslim. Berdasarkan kesepakatan, ketiganya membatasi diri hanya ikut ke garis depan, dan tidak ikut melakukan penyerangan, tapi hanya menghindar. Berbagai upaya mereka lakukan untuk menghindari kontak langsung dengan pasukan Aceh. Guru Alim sendiri, karena usianya yang paling tua diantara ketiganya, lebih banyak menyamar menjdi tukang pijit pasukan Belanda. Sedangkan Mamiq Ormat, karena usianya paling muda, lebih banyak dipengaruhi oleh darah mudanya. Konon setelah mengetahui bahwa lawannya adalah sesama Muslim, Mamiq ormat ikut bersama pejuang Aceh berbalik menyerang pasukan Belanda. Beliau akhirnya tewas tertembak pasukan Belanda dan dikuburkan di Aceh. Beliau dikenang dengan sebutan Pemban Ilang Aceh. Sepeninggal Mamiq Ormat, Guru Alim dan Guru Kalimah mengikrarkan diri sebagai saudara dunia-akhirat serta menyatakan kesediaannya untuk hidup mati bersama-sama.
Setelah menghabiskan tujuh tahun (1896-1903) di belantara Aceh bersama Pasukan Belanda, Guru Alim bersama Guru Alkalimin dipindahkan mengikuti pasukan Belanda ke Madura, di lokasi kerja paksa pembuatan tambak garam selama 4 tahun (1903 – 1907) Baru pada tahun 1907 keduanya dikembalikan ke Batavia dan pada tahun yang sama dipulangkan ke Lombok setelah Guru Alim berhasil membunuh lipan raksasa disebuah gua di pegunungan Jawa Barat.
Selama sebelas tahun Guru Alim dan Guru Kalimin dalam pengasingan, di wilayah Jerowaru terjadi berbagai perubahan. Wilayah desa Jerowaru semakin menyempit, Perbatasan dengan distrik Sakra di sebelah utara yang semula sampai perbatasan Montong Galeng dan Montong Tengari bergeser ke selatan hanya sampai Mendana. Hal tersebut disebabkan karena Kepala Desa Jerowaru menjual sebagian wilayah tersebut kepada distrik Sakra. Selain itu tanah pusaka Guru Alim yang membentang dari Jerowaru sampai Rereq diambil alih dan dikuasai oleh Kepala Desa Jerowaru, hal mana tak dapat dilakukan semasih Guru Alim berada di Jerowaru.
Selama keduanya dalam pengasingan, pihak keluarga telah beranggapan bahwa keduanya sudah tewas karena selama itu tak pernah ada kabar berita. Sementara itu Penendem sendiri telah berubah drastis. Kehadiran TGH. Ali Akbar telah menjadikan Penendem sebagai pusat ilmu di wilayah Jerowaru dan sekitarnya. Masyarakat dari berbagai penjuru Lombok seperti Praya, Darmaji, Langko, dan wilayah sekitar Jerowaru datang berguru kepada beliau.
Berdasarkan pengalaman semasih diasingkan di Madura, Guru Alim dan Guru Alkalimin memprakarsai pembuatan tambak garam pertama di pantai selatan. Pembuatan tambak Garam tersebut mendapat dukungan penuh dari TGH. Ali Akbar. Ketiganya tercatat sebagai pemilik pertama tambak garam yang sampai sekarang terkenal dengan nama Parak Penendem. Pada Klasir tahun 1942, Amaq Sitirah sebagai ahli waris Guru Alim menyerahkan sepenuhnya kepemilikan tambak tersebut kepada TGH. Mutawalli selaku ahli waris Guru Alkalimin.













KABUPATEN LOMBOK TENGAH

Posted by suhaimisaputra | Posted in DAMAPAK POSITI dan NEGATIF INTERNET, KABUPATEN LOMBOK TENGAH, SEKILAS SEJARAH SUKU SASAK | Posted on 09-07-2010


KABUPATEN LOMBOK TENGAH

Lombok Tengah merupakan salah satu daerah tujuan wisata di propinsi NTB. Terletak di lokasi yang mudah terjangkau, hanya 30 km dari bandara Selaparang Mataram.
Deretan pantai-pantainya yang berpasir putih sangat eksotis dan menghadap langsung ke samudra Hindia. Jumlah wisatawan yang berkunjung, baik wisatawan manca negara maupun domestik terus meningkat. Beberapa lokasi untuk bercselancar masih terlalu perawan untuk dilewatkan oleh para peselancar mania, selain privasi yang maksimal si sepinya pantai selatan. Keseharian yang masih menjaga tradisi leluhur di dusun Sade dan Tansang-Angsang, dua desa cagar budaya menggambarkan bagaiman etnik Sasak menjalani kehidupan pada masa-masa awal peradabannya
Tenun tradisional di Sukarare, kerajinan gerabah di Penujak, barang-barang antik terbuat dari Ketak dan rotan di desa Beleka, semuanya sangat mendukung perkembangan pariwisata di daerah ini. Dan tentu saja upacara-upacara tradisional yang unik dan tidak sedikit yang masih menebarkan daya magis masih dipraktikan oleh etnik pewaris pulau Lombok ini.
Seluruh lokasi wisata di Lombok Tengah dapat di jangkau dengan transportasi darat.
1. GEOGRAFIS
Kabupaten Lombok Tengah terletak pada posisi 82o 7′ – 8o 30′ Lintang Selatan dan 116o 10′ – 116o 30′ Bujur Timur, membujur mulai dari Kaki Gunung Rinjani disebelah Utara hingga ke pesisir pantai Kuta di sebelah Selatan, dengan beberapa Pulau kecil yang ada disekitarnya.
2. BATAS DAN LUAS WILAYAH
Luas wilayah Kabupaten Lombok Tengah adalah 1.208,39 Km2 dengan batas-batas sebagai berikut :
Sebelah Utara : Gunung Rinjani (Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Timur
Sebelah Selatan : Samudera Indonesia
Sebelah Timur : Kabupaten Lombok Timur
Sebelah Barat : Kabupaten Lombok Barat
3. ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
Kabupaten Lombok Tengah terdiri dari 12 Kecamatan, 119 Desa / Kelurahan, 991 Dusun / Lingkungan.
4. TOPOGRAFI
Wilayah Lombok Tengah yang membujur dari utara ke selatan tersebut mempunyai letak dan ketinggian yang bervariasi mulai dari nol (0) hingga 2000 meter dari permukaan laut.
Jenis Tanah :
Aluvial : 2.764 Ha
Regusol Kelabu : 20.387 Ha
Kompleks Gromusol Kelabu Tua : 3.947 Ha
Gromusol Kelabu : 34.306 Ha
Regusol Coklat : 8.225 Ha
Brown Forest Soil : 9.575 Ha
Ksompleks Mediteran Coklat : 41.635 Ha
5. IKLIM
Berdasarkan klasifikasi Schmid dan Ferguson, Kabupaten Lombok Tengah memiliki iklim D dan E yaitu Hujan Tropis dengan musim kemarau kering, yaitu mulai bulan November sampai dengan Mei, sementara curah hujan berkisar antara 1.000 hingga 2.500 mm pertahun
1.1000 mm – 1750 mm
Kecamatan Janapria, Praya, dan Kec. Praya Tengah
2.1000 mm – 2000 mm
Kecamatan Janapria
3.1500 mm – 2500 mm
Kecamatan Batuklian Utara, Jonggat, Kopang, Praya Barat Daya, dan kecamatan Pringgarata
6. PENDUDUK
Menurut data hasil sensus penduduk tahun 2000, jumlah penduduk Kabupaten Lombok Tengah sebanyak 745.433 jiwa (laki-laki 350.734 jiwa dan perempuan 394.699 jiwa), dengan Sex Ratio 89. Laju pertumbuhan sebesar 0.97%. Tingkat Pertumbuhan merupakan kemajuan dari sebelumnya, yaitu 211% pertahun (periode 1970 – 1980) dan 1,64% pertahun (periode 1980 – 1990). Tingkat kepadatan mencapai 617 jiwa / Km2
7. MATA PENCAHARIAN
Mengingat sebagian wilayah Kabupaten Lombok Tengah merupakan areal pertanian, maka sebagian besar penduduknya hidup sebagai petani. Secara keseluruhan, prosentase pembagian penduduk di Kabupaten Lombok Tengah dari segi mata pencaharian adalah : Pertanian 72%, Industri 7%, Jasa 7%, Perdagangan 7%, Angkutan 3%, Konstruksi 2%, lain-lain 2%.
8. AGAMA
Mayoritas agama yang dianut masyarakat Kabupaten Lombok Tengah adalah Islam. Meskipun Agama Islam merupakan agama mayoritas penduduk, namun kesempatan menjalankan ibadah bagi masyarakat Lombok Tengah yang beragama lainpun tidak pernah dihalangi, karena dalam kehidupan sehari-hari, toleransi beragama ditengah masyarakat sangat tinggi.
OBJEK WISATA LOMBOK TENGAH
SUKARARA.
Menarik untuk dikunjungi karena kegiatan sehari-hari masyarakat di desa ini telah menenun. Ciri khas tenunan dari desa Sukarara ini adalah tenunan memakai benang emas tyang sering di sebut kain songket, desa ini telah dikenal menjadi salah satu obyek wisata yang banyak dikunjungi oleh para tamu nusantara maupun mancanegara. Di sepanjang jalan desa ini banyak took-toko yang menjual kain tenun dari desa setempat maupun desa-desa sekitarnya. Para wanita di desa dengan pakaian adat sasak selalu siap mendemontrasikan ketrampilan mereka.
BELEKA.
Juah sebelum Pulau Lombok menjadi salah satu destinasi pariwisata dunia, desa Beleka sudah dikenal sebagai pusat kerajinan tangan. Selama sudah hampir lebih dari 25 tahun desa ini menjadi salah satu desa yang menjual barang kerajinan Lombok untuk dipasarkan di pulau Bali. Kerajinan tangan yang dihasilkan adalah rotan, ketak, kerajinan kayu, keris dan keramik. Desa ini terletak 15 km di arah timur kota Praya.
RAMBITAN DAN SADE.
Sade yang terletak di desa Rambitan merupakan salah satu desa tradisional Sasak yang masih asli. Rumah-rumah penduduk dibangun dari konstruksi bamboo dan atapnya terbuat dari daun alang-alang. Dusun ini berpenghuni sekitar seratus orang dengan mata pencaharian utama adalah bertani. Usaha tambahan mereka adalah dengan menenun. Di dusun ini para pengunjung dapat menyaksikan kesenian Gendang Beleq dan tari Oncer.
PENUJAK.
Bersama-sama dengan desa Banyumulek dan Masbagik, Penujak adalah merupakan salah satu desa yang memproduksi gerabah Lombok. Desa ini dapat dikatakan sebagai desa yang dapat memperlihatkan proses pembuatan gerabah yang terbaik dari ketiganya. Biasanya pekerjaan pembuatan gerabah didominasi oleh kamu wanita. Tetapi karena banyaknya permintaan ekspor dari desa ini para kaum lelaki sudah mulai ikut serta membuat gerabah. Sekarang ini kita dapat melihat kaum wanita dan laki-laki bekerja bersama-sama untuk menciptakan desain-desain terbaru.
PANTAI KUTA DAN TANJUNG A’AN.
Desa Kute dengan pantai pasir putihnya terletak di pantai Selatan pulau Lombok. Dikelilingi oleh deretan perbukitan. Di pagi hari pemandangan yang menakjubkan dapat dilihat dari puncak perbukitan tersebut. Selain itu terdpat banyak pantai-pantai yang tak kalah menariknya di sepanjang pantai Selatan. Di antaranya pantai Seger, Aan, Mawi, Selong Belanak, Rowok dan Mawun. Dua yang terakhir sangat bagus sebagai lokasi untuk selancar angin maupun untuk olahraga pantai lainnya
SELONG BELANAK, MAWI DAN MAWUN.
Dua belas kilometer sebelah Barat desa Kuta, di bagian selatan pulau Lombok adalah sebuah teluk yang sangat indah. Pantainya yang berpasir putih dan perkampungan nelayan, dengan perahu nelayan yang berwarna-warni terletak sebuah desa Selong Blanak. Desa ini dikenal oleh para tamu mancanegara sebagai tempat berselancar yang indah.
Tidak jauh dari desa ini adalah desa Mawi juga banyak dikunjungi oleh para penggemar olah raga berselancar dari mancanegara yang mana ombak dipantai ini termasuk dalam kategori ombak yang sangat besar. Tempat ini biasanya di kunjungi oleh para peselancar yang sudah berpengalaman.
Mawun terletak 8 km sebeleh Barat desa Kuta, adalah pantai terpencil yang sangat indah di dunia. Ombak di pantai ini tidak pernah mengecewakan para peselancar karena gelombangnya yang konsisten.
GERUPUK.
Gerupuk terletak pada ujung sebuah teluk yang panjangnya 9 km sebelah Timur desa Kuta. Mata pencaharian utamanya dari desa ini adalah nelayan dan menanam rumput laut. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya rumput laut yang dijemur di atas pagar bamboo pada sepanjang jalan. Di samping itu, Gerupuk dikenal sebagai tempat yang digemari untuk berselancar dan berselancar angin. Desa ini banyak dikunjungi oleh tamu dari mancanegara yang mana tujuan utamanya adalah berselancar.

SEKILAS SEJARAH SUKU SASAK

Sejarah
Sebelum Abad ke 16 Lombok berada dalam kekuasan Majapahit, dengan dikirimkannya Maha Patih Gajah Mada ke Lombok. Malah ada kabar kalau beliau wafat di Pulau Lombok dan dimakamkan di Lombok Timur. Pada Akhir abad ke 16 sampai awal abad ke 17, lombok banyak dipengaruhi oleh Jawa Islam melalui dakwah yang dilakukan oleh Sunan Giri, juga dipengaruhi oleh Makassar. Hal ini yang menyebabkan perubahan Agama Suku Sasak, yang sebelumnya Hindu menjadi Islam.
Pada awal abad ke 18 Lombok ditaklukkan oleh kerajaan Gel Gel Bali. Peninggalan Bali yang sangat mudah dilihat adalah banyaknya komunitas Hindu Bali yang mendiami daerah Mataram dan Lombok Barat, Beberapa Pura besar juga gampang di temukan di kedua daerah ini. Lombok berhasil Bebas dari pengaruh Gel Gel setelah terjadinya pengusiran yang dilakukan Kerajaan Selapang (Lombok timur) dengan dibantu oleh kerajaan yang ada di Sumbawa (pengaruh Makassar). Beberapa prajurit Sumbawa kabarnya banyak yang akhirnya menetap di Lombok Timur, terbukti dengan adanya beberapa desa di Tepi Timur Laut Lombok Timur yang penduduknya mayoritas berbicara menggunakan bahasa Samawa.
Kalau kita lihat dari aspek sejarah, orang Sasak bisa jadi berasal Jawa, Bali, Makassar dan Sumbawa. Tapi bisa juga ke empat etnis tersebut bukan Papuk Bloq orang sasak, melainkan hanya memberi pengaruh besar pada perkembangan Suku Sasak
Ciri FISIK
Sementara kalau diperhatikan secara fisik Suku Sasak ini lebih mirip orang Bali dibandingkan orang Sumbawa. Dari Aspek ini bisa jadi orang Sasak berasal dari orang Bali, nah sekarang tinggal di cari orang Bali berasal dari mana?
Bukti Otentik
Beberapa minggu yang lalu, salah seorang yang membaca tulisan ini mengirimkan ke saya sebuah bukti otentik asal usul suku sasak yang disimpan keluarganya di Lombok Tengah. Bukti tersebut berupa silsilah keluarga yang berujung pada sebuah nama: Datu Pangeran Djajing Sorga (dari Majapahit, Kabangan, Jawa Timur). Dari Bukti otentik tersebut, jelaslah terlihat bahwa Suku Sasak yang mendiami Pulau Lombok, sebenarnya berasal dari Jawa.
Bahasa
Bahasa Sasak, terutama aksara (bahasa tertulis) nya sangat dekat dengan aksara Jawa dan Bali, sama sama menggunakan aksara Ha Na Ca Ra Ka …dst. Tapi secara pelafalan cukup dekat dengan Bali.
Menurut ethnologue yang mengumpulkan semua bahasa di dunia, Bahasa Sasak merupakan keluarga (Languages Family) dari Austronesian Malayo-Polynesian (MP), Nuclear MP, Sunda-Sulawesi dan Bali-Sasak.
Sementara kalau kita perhatikan secara langsung, bahasa Sasak yang berkembang di Lombok ternyata sangat beragam, baik dialek (cara pengucapan) maupun kosa katanya. Ini sangat unik dan bisa menunjukkan banyaknya pengaruh dalam perkembangannya. Saat Pemerintah Kabupaten Lombok Timur ingin membuat Kamus Sasak saja, mereka kewalahan dengan beragamnya bahasa sasak yang ada di lombok timur, Walaupun secara umum bisa diklasifikasikan ke dalam: Kuto-Kute (Lombok Bagian Utara), Ngeto-Ngete (Lombok Bagian Tenggara), Meno-Mene (Lombok Bagian Tengah), Ngeno-Ngene (Lombok Bagian Tengah), Mriak-Mriku (Lombok Bagian Selatan)
Dari Aspek Bahasa, Papuk Bloq kita bisa jadi berasal dari Jawa (Malayo-Polynesian), Vitname atau Philipine ( Austronesian), atau dari Sulawesi (Sunda-Sulawesi)
Harapan
Semoga Dewan Adat Sasak segera menerbitakan Buku Sejarah Sasak dan merampungkan Kamus Bahasa Sasak. * Tulisan ini hanya oret oretan saja, data data yang digunakan masih diragukan ke shahihannya karena keterbatasan sumber sejarah terkait Suku Sasak. Adanya tulisan ini diharapkan ada informasi dari semeton senamiyan untuk meluruskan, memperbaiki yang salah dan menambahkan yang kurang




Jenis-jenis alat musik tradisional Sasak Lombok


1. Genggong
Alat musik ini termasuk dalam jenis alat musik tiup yang terbuat dari pelepah daun enau. Secara etimologis kata genggong bersala dari kata geng (suara tinggi) disebut genggong lanang dan gong (suara rendah) disebut wadon, sehingga musik genggong selalu dimainkan secara berpasangan. Musik genggong secara orkestra dapat dimainkan dengan alat musik yang lain seperti petuq, seruling,

rincik dan lain-lain.

2.Rebana Burdah
Sebuah bentuk alat musik hasil akulturasi kebudayaan bangsa Arab dengan etnis Sasak. Rebana Burdah dipadukan dengan syair-syair pujian terhadap Allah SWT dan riwayat Nabi Muhammad SAW yang dipetik dari kitab karya sastra Arab Al Baranzi.

3.Gambus
Alat musik petik dengan menggunakan dawai sebagai sumber suara (bunyi) yang digunakan untuk mengiringi lagu-lagu tradisional. Dapat dimainkan secara bersama-sama atau sendiri.

4.Mandolin
Alat ini merupakan sebuah alat musik petik tradisional yang mempunyai senar dan dimainkan seperti biola. Sering dipakai untuk mengiringi tari rudat dan lagu-lagu tradisonal. Alat musik ini dapat dipadukan dengan alat musik lainnnya untuk mengiringi lagu-lagu tradisional.

5.Preret
Preret adalah sebuah alat pengiring tarian, lagu maupun orkestra. Alat musik ini dijumpai hampir diseluruh wilayah Indonesia.

6.Barong Tengkok
Merupakan salah satu jenis musik orkestra Lombok, terdiri dari krenceng enam pasang, satu buah gendang dan sebuah petuk. Barong lanang/wadon yang berfungsisebagai tempat reog sebuah gong dan tiga buah seruling sebagai pembawa melodi. Disebut barong tengkok karena salah satu alatnya (reog) diletakkan pada bentuk barong yang dibawa dengan ditengkokkan

1.
Dikatakan pada lirik yang dinyanyikan sebelum bangkit menari:Tiang lanang beli bagus Beli bagus bau rauh Kasunane tarik bebunga Sedang pengibing (penari) seolah kumbang yang merindukan bunga. Dahulu ditengah arena obor bambu setingggi datu setengah meter (sekarang digunakan lampu petromaks yang sering diletakkan di luar arena). Antara si penari gandrung dengan pengibing berkejar-kejaran mengelilingi obor tersebut. Ini disebut â€Å“bekeleokangâ€. Atau sesekali saling kejitin (main mata) dengan berbatasan obor.
2.
Selama ngibing dilakukan sering pengibing berbuat nakal dengan menyentuh bagian tubuh penari utama, bahkan ada yang mencoba beradu pipi. Untuk menghindari hal seperti itu ia dilengkapi dengan senjata, yaitu ujung runcing dari gempolan yang merupakan bagian dari hiasan kepala yang disebut gelungan. Kalau pengibing tidak segera menghindar akan kena tusukan benda tajam tersebut.
Parianom, bagian ketiga ini merupakan perpanjangan dari bagian kedua. Gending pengiring yang disebut parianom tidak menggunakan seluruh instrumen orkestra gandrung. Yang berperan adalah redep dan suling dibantu suara gendang, petuk dan rincik. Dalam bagian ini penari gandrung akan melengkapi tariannya dengan nyanyian yang disebut besanderan. Sekarang lariknya tidak lagi dalam bahasa daerah tetapi dalam bahasa Indonesia.
jenis keramaian lainnya yang menghadirkan orang banyak. Instrumen gandrung dalam bentuk orkestra terdiri dari pemugah, saron, calung, jegogan, rincik, petuk, terompong, gender, redep dan suling.
3. Gendang Beleq
Disebut gendang beleq karena salah satu alatnya Disebut Gendang Beleq karena salah satu alatnya adalah gendang beleq (gendang besar).

Orkestra ini terdiri atas dua buah gendang beleq yang disebut gendang mama (laki-laki) dan gendang nina (perempuan), berfungsi sebagai pembawa dinamika.

Sebuah gendang kodeq (gendang kecil), dua buah reog sebagai pembawa melodi masing-masing reog mama, terdiri atas dua nada dan sebuah reog nina, sebuah perembak beleq yang berfungsi sebagai alat ritmis, delapan buah perembak kodeq, disebut juga copek. Perembak ini paling sedikit enam buah dan paling banyak sepuluh. Berfungsi sebagai alat ritmis, sebuah petuk sebagai alat ritmis, sebuah gong besar sebagai alat ritmis, sebuah gong penyentak, sebagai alat ritmis, sebuah gong oncer, sebagai alat ritmis, dan dua buah bendera merah atau kuning yang disebut lelontek.

Menurut cerita, gendang beleq ini dulu dimainkan kalau ada pesta-pesta kerajaan, sedang kalau ada perang berfungsi sebagai komandan perang, sedang copek sebagai prajuritnya. Kalau perlu datu (raja) ikut berperang, disini payung agung akan digunakan.

Sekarang fungsi payung ini ditiru dalam upacara perakawinan. Gendang beleq dapat dimainkan sambil berjalan atau duduk. Komposisi waktu berjalan mempunyai aturan tertentu, berbeda dengan duduk yang tidak mempunyai aturan.

Pada waktu dimainkan pembawa gendang beleq akan memainkannya

Pakaian penari gandrung terdiri atas kain batik, baju kaos lengan pendek, gelungan (penutup/hiasan kepala), bapang, lambe, ampok-ampok, gonjer. Seangkan pakaian pengibing adalah baju, kain, dodot dan sapuq. Pertunjukan biasanya dilakukan pada malam hari. Lama seluruh pertunjukan lebih kurang 3 jam. Untuk setiap babak (satu pengiring) lamanya rata-rata sepuluh menit.

Tari gandrung benar-benar merupakan tari rakyat pada arena terbuka yang dilingkari penonton dan fungsinya semata-mata untuk hiburan. Gandrung tesebar pada beberapa desa di pulau Lombok antara lain Gerung dan Lenek di Lombok Timur. Gandrung ‘ditanggep†orang untuk pesta perkawinan dan sunatan. Tetapi dewasa ini bergeser fungsinya menjadi hiburan rakyat dalam rangkaian hari-hari besar nasional atau sambil menari, demikian juga pembawa petuk, copek dan lelontok.
4. Cilokaq
Musik ini terdiri dari bermacam-macam alat yakni:
- Alat petik, gambus ada dua buah masing-masing berfungsi sebagai melodi dan akrod.
- Alat gesek, biola ada dua buah keduannya berfungsi sebagai pembawa melodi.
- Alat tiup, suling dan pereret yang berfungsi sebagai pembawa melodi.
- Alat pukul, gendang ada tiga buah, msing-masing berfungsi sebagai pembawa irama, pembawa dinamika dan tempo, juga sebagai gong. Rerincik dugunakan sebagai alat ritmis


Gladiator dari Bumi Sasak

TUBUH seringan kapas, tangan secepat kilat, dan kuda-kuda sekuat baja. Sorot mata tajam tak berkedip mengintai lawan seperti elang menandai mangsa. Satu gerakan salah, batok kepala taruhannya. Saat bilah rotan mulai mengayun, hanya ada dua pilihan; tertunduk pulang sebagai pecundang atau diarak sebagai pemenang.
Begitulah permainan tradisional perisean yang berlangsung selama berabad-abad di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Seni tradisional suku Sasak (suku asli Lombok) yang mempertemukan dua lelaki petarung di satu arena. Pertunjukan adu kejantanan ini mirip-mirip tradisi gladiator zaman Romawi kuno.
Para petarung disebut pepadu. Masing-masing dilengkapi sebuah perisai kayu yang dilapisi kulit sapi atau kerbau, berbentuk bujur sangkar berukuran 50 x 50 cm. Perisai itulah yang menjadi asal nama permainan ini. Sebilah rotan sepanjang kira-kira 1 meter yang disebut penjalin menjadi senjatanya.
Ritual
Konon, perisean sudah dimainkan sejak abad ke-13, berawal dari ritual masyarakat agraris Lombok untuk mendatangkan hujan pada musim kemarau. Pertarungan biasanya digelar di pematang sawah yang kering.
Untuk memulai laga, dua pekembar (wasit) akan mencari calon petarung atau pepadu dari kerumunan orang yang datang. Kadang, sang pepadu sendiri yang mengajukan diri.
Sambil berjoget jenaka, kedua pekembar akan saling menawarkan jagonya. Jika dirasa kedua calon pepadu yang ditunjuk pekembar seimbang, pertarungan dimulai. Kalau belum, pekembar mencari calon lain.
Sebelum bertarung, kedua pepadu dipasangi ikat kepala (saput) dan kain pengikat pinggang (bebadong). Selanjutnya, mereka diberi sepotong daun sirih untuk dikunyah. Saat wasit meniup peluit, saling gebuk dan tangkis pun dimulai.
Jalannya pertarungan diiringi gamelan sasak yang terdiri dari tabuhan gendang, suling, gong, dan rincik dalam tempo cepat. Tembang yang dibawakan merupakan tembang khusus perisean yang beraura mistis. Tembang itu biasanya akan mendongkrak semangat bertarung dan mengurangi rasa sakit akibat sabetan rotan.
Aturan perisean sederhana. Pepadu hanya diperbolehkan memukul bagian tubuh dari pinggang ke atas, dengan sasaran utama kepala lawan. Dengan kata lain, masing-masing harus bisa melindungi kepalanya dari sabetan rotan.
Biasanya pepadu yang terkena pukulan atau merasa pukulannya mengenai lawan akan berjoget seperti meledek. Ada yang bilang ini untuk mengurangi rasa sakit atau untuk meredam emosi.
Jika kepala berdarah, pekembar akan menghentikan pertarungan dan pemenang pun diumumkan. Darah yang jatuh di arena perisean itulah yang diyakini mendatangkan hujan. Jika hingga 3-4 ronde kedua pepadu masih sama kuat, wasit akan menyatakan hasil seri.
Tanpa dendam
Meski saling gebuk hingga memar dan berdarah-darah, pepadu tak pernah membawa dendam ke luar arena. Menang atau kalah, seusai bertarung, kedua pepadu pasti bersalaman dan berpelukan. Segalanya dimulai dan selesai di dalam arena.
Karena sakral, perisean tak digelar sembarang waktu. Pada masa sekarang, perisean diadakan menjelang perayaan-perayaan khusus, seperti ulang tahun kemerdekaan (17 Agustus), hari jadi kabupaten/kota, atau menjelang Ramadhan.
Kompas berkesempatan menyaksikan penyelenggaraan perisean di lapangan umum Kelurahan Monjok, Selaparang, Mataram, NTB, Senin (19/7/2010). Perisean ini digelar selama seminggu penuh dengan mendatangkan berbagai pepadu dari seantero Lombok.
”Setiap tahun paling tidak sekali digelar di kelurahan kami. Jika dalam setahun tak digelar, biasanya masyarakat akan bertanya ke lurah,” ujar Lurah Monjok, Budi Wartono.
Antusiasme warga menyaksikan tarung perisean selalu tinggi. Tua, muda, anak-anak, dan perempuan akan memadati pinggiran arena setiap kali perisean diselenggarakan. Mereka tidak hanya dari kawasan sekitar, tetapi juga dari kawasan lain yang jaraknya cukup jauh.
Tidak ada hadiah besar bagi pemenang. Panitia hanya memberikan uang sekadarnya, hanya puluhan ribu rupiah atau disesuaikan dengan anggaran panitia—berdasarkan hasil penjualan karcis masuk arena, parkir, dan donatur.
”Kadang diberikan sabun (kepada pemenang) pun akan diterima. Karena memang bukan hadiah yang dikejar, melainkan rasa bangga menjalankan tradisi,” ujar Budi.
Mengukur kesaktian
Layaknya tradisi yang telah berakar ratusan tahun, perisean pun tak lepas dari nuansa mistik. Bukan rahasia jika para pepadu yang bertarung membekali diri dengan berbagai jimat dan mantra. Selain adu kekuatan fisik dan teknik bertarung, perisean juga dikenal sebagai ajang mengukur kesaktian, khususnya bagi pepadu level tinggi.
Beragam cerita beredar dari pepadu yang bisa membengkokkan rotan lawan tanpa disentuh, melipatgandakan sakit lawan dari sekali sabetan rotannya, hingga kebal pukulan.
Perisean berakar dan hidup di tengah masyarakat Lombok sebagai aset budaya bernilai tinggi. Karena itu, Pemerintah Kota Mataram berencana mengemas seni tradisional ini sebagai atraksi wisata yang bisa meningkatkan daya tarik Pulau Lombok, yang saat ini terkenal dengan keindahan pantai-pantainya. ”Kami sedang mengarah ke sana,” ucap Kepala Bagian Humas Pemerintah Kota Mataram, Alwi. (ENG) (travel.kompas.com)









 BAU NYALE ( Putri Mandalika, Asal Mula Upacara Bau Nyale )


Kabupaten Lombok Tengah adalah salah satu daerah Tingkat II di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Di daerah ini terdapat sebuah kawasan wisata pantai yang sangat menarik dan ramai dikunjungi oleh para wisatawan, baik wisatawan lokal maupun wisatawan asing. Kawasan tersebut adalah Pantai Seger Kuta, terletak di bagian Selatan pulau Lombok, kira-kira 65 kilometer dari kota Mataram. Keindahan pantai ini membuat para wisatawan menjadi kagum menyaksikan panorama alamnya. Airnya yang jernih dan tenang menjadikan pantai ini sangat ideal untuk berenang.

Selain keindahan alamnya, Pantai Seger Kuta juga memiliki daya tarik lain yang tidak kalah eksotisnya bagi para wisatawan. Setiap setahun sekali, yaitu antara bulan Februari dan Maret, di tempat ini diselenggarakan sebuah pesta atau upacara yang dikenal dengan Bau Nyale. Kata bau berasal dari bahasa Sasak yang berarti menangkap, sedangkan kata nyale berarti sejenis cacing laut yang hidup di lubang-lubang batu karang di bawah permukaan laut.

Pesta Bau Nyale adalah sebuah peristiwa dan tradisi yang sangat melegenda dan mempunyai nilai sakral tinggi bagi suku Sasak, suku asli pulau Lombok. Keberadaan pesta Bau Nyale ini berkaitan erat dengan sebuah cerita rakyat yang berkembang di daerah Lombok Tengah bagian Selatan, tepatnya pada masyarakat Pujut, sebuah kecamatan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Lombok Tengah. Cerita tersebut mengisahkan tentang seorang putri yang sangat arif dan bijaksana, namanya Putri Mandalika. Ia adalah putri dari seorang Raja yang pernah memerintah di negeri Lombok. Wajahnya yang elok, tubuhnya yang ramping dan perangainya yang baik, membuat para pangeran dari berbagai negeri berkeinginan untuk memperistrinya. Setiap pangeran yang datang melamarnya, tidak ada yang ditolaknya. Namun, antara pangeran yang satu dan pangeran yang lainnya tidak menerima jika sang Putri yang cantik jelita itu diperistri oleh banyak pangeran. Hal inilah yang akan menimbulkan terjadinya perang antara pangeran yang satu dengan pangeran yang lainnya. Hal ini pulalah yang membuat Putri Mandalika merasa gelisah. Ia selalu termenung memikirkan bagaimana cara agar pertumpahan darah tidak terjadi. Apa yang akan dilakukan Putri Mandalika untuk menghindari terjadinya pertumpahan darah tersebut? Lalu, pangeran siapa yang berhasil memperistrikan Putri Mandalika? Untuk mengetahui jawabannya, ikuti kisahnya dalam cerita Putri Mandalika: Asal Mula Bau Nyale berikut ini.


Asal Usul Upacara Bau nyale

pada zaman dahulu kala, di pantai Selatan Pulau Lombok, berdiri sebuah kerajaan yang bernama Tunjung Bitu. Kerajaan tersebut diperintah oleh seorang Raja yang bernama Raja Tonjang Beru dengan permaisurinya, Dewi Seranting. Tonjang Beru adalah seorang raja yang arif dan bijaksana. Seluruh rakyatnya hidup makmur, aman dan sentosa. Mereka sangat bangga mempunyai raja yang arif dan bijaksana itu. Raja Tonjang Beru memiliki seorang Putri yang cantik jelita, cerdas dan bijaksana, namanya Putri Mandalika. Di samping cantik dan cerdas, Putri Mandalika juga terkenal ramah dan sopan. Tutur bahasanya sangat lembut. Seluruh rakyat negeri sangat sayang terhadap sang Putri.

Kecantikan dan keelokan perangai Putri Mandalika sudah tersohor ke berbagai negeri, bahkan sampai ke negeri seberang. Para pangeran dari berbagai kerajaan juga telah mendengar berita tersebut. Setiap pangeran yang melihat kecantikan dan keanggunan sang Putri menjadi mabuk kepayang. Seakan telah terjadwalkan, para pangeran tersebut datang secara bergantian untuk melamar sang Putri.

Suatu keanehan pada diri Putri Mandalika. Setiap pangeran yang datang melamarnya, tak satu pun yang ia tolak. Namun, para pangeran tersebut tidak menerima jika sang Putri diperistri oleh banyak pangeran. Maka mereka pun bersepakat untuk mengadu keberuntungan melalui peperangan. Siapa yang menang dalam peperangan itu, maka dialah yang berhak memperistri sang Putri.

Suatu hari, berita tentang akan terjadinya peperangan antara beberapa kerajaan sampai pula ke telinga Raja Tonjang Beru. Sang Raja segera memanggil putrinya untuk membicarakan masalah tersebut. “Wahai, Putriku! Ayahanda mendengar bahwa di negeri ini akan terjadi malapetaka besar. Seluruh pangeran yang pernah datang melamarmu akan mengadakan perang. Mereka bersepakat, siapa yang menang dalam perang itu, dialah yang akan menjadi suamimu,” kata sang Raja kepada putrinya.

“Putri sudah mendengar berita itu, Ayahanda,” jawab sang Putri dengan tenang. “Lalu, apa yang akan kita lakukan agar pertumpahan darah itu tidak terjadi?” tanya sang Raja khawatir. “Maafkan Putri, Ayahanda! Ini semua salah Putri, karena telah menerima semua lamaran mereka. Jika Ayahanda berkenan, izinkanlah Putri yang menyelesaikan masalah ini,” pinta sang Putri. “Baiklah, Putriku!” jawab sang Raja penuh keyakinan.

Setelah berpikir sehari-semalam, sang Putri pun menemukan jalan keluarnya. Pada awalnya, sang Putri berniat memilih salah satu dari puluhan pangeran yang melamarnya sebagai suaminya. Namun, niatnya itu ia batalkan setelah memikirkan resikonya. Jika ia memilih satu di antara beberapa pangeran sebagai suaminya, tentu pangeran yang lainnya merasa iri. Hal ini tentu akan menimbulkan pertumpahan darah. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi sang Putri. Ia pun memutuskan untuk mengorbankan jiwa dan raganya. Tekadnya tersebut sudah tidak bisa ditawar lagi. Ia sudah siap merelakan jiwanya demi menghindari terjadinya peperangan yang akan memakan korban yang lebih banyak.

Namun, sebelum melaksanakan niatnya, sang Putri harus melakukan semedi terlebih dahulu. Dalam semedinya, ia mendapat wangsit agar mengundang semua pangeran dalam pertemuan pada tanggal 20, bulan 10 penanggalan Sasak), bertempat di Pantai Seger Kuta, Lombok Tengah. Semua pangeran yang diundang harus disertai oleh seluruh rakyatnya masing-masing. Mereka harus datang ke tempat itu sebelum matahari memancarkan sinarnya di ufuk Timur.

Hari yang telah ditentukan tiba. Tampaklah pemandangan yang sangat menarik. Para undangan dari berbagai negeri berbondong-bondong datang ke pantai Seger Kuta. Orang yang datang ribuan jumlahnya. Pantai Seger Kuta bak gula yang dikerumuni semut. Bahkan, banyak undangan yang datang dua hari sebelum hari yang ditentukan oleh sang Putri tiba. Mulai dari anak-anak hingga kakek-nenek datang memenuhi undangan sang Putri di tempat itu. Rupanya mereka sudah tidak sabaran ingin menyaksikan bagaimana sang Putri yang cantik jelita itu menentukan pilihannya.

Pantai Sereg Kuta sudah penuh sesak oleh para undangan. Tak berapa lama, sang Putri yang sudah tersohor kecantikannya itu pun tiba di tempat dengan diusung menggunakan usungan yang berlapiskan emas. Seluruh undangan serentak memberi hormat kepada sang Putri yang didampingi oleh Ayahanda dan Ibundanya serta sejumlah pengawal kerajaan. Suasana yang tadinya hiruk-pikuk berubah menjadi tenang. Seluruh pasang mata yang hadir tercengang kecantikan wajah sang Putri. Tubuhnya yang dibungkus oleh gaun sutra yang sangat halus itu, menambah keanggunan dan keelokan sang Putri. Para pangeran sudah tidak sabar lagi menanti keputusan dari sang Putri. Masing-masing berharap dirinyalah yang akan dipilih sang Putri. Suasana semakin tegang. Jantung para pangeran berdetak kencang seakan-akan mau copot.

Tidak berapa lama, sang Putri melangkah beberapa kali, lalu berhenti di onggokan batu, membelakangi laut lepas. Di tempat ia berdiri, Putri Mandalika kemudian menebarkan pandangannya ke seluruh undangan yang jumlahnya ribuan itu. Rasa penasaran para hadirin semakin memuncak. Mereka semakin tidak sabaran ingin mendengarkan kata demi kata keluar dari mulut sang Putri yang menyebutkan salah satu nama dari puluhan pangeran yang ada di tempat itu sebagai pilihan hatinya.

Setelah pandangannya merata ke arah para undangan yang hadir, sang Putri pun berbicara untuk mengumumkan keputusannya dengan suara lantang dengan berseru, “Wahai, Ayahanda dan Ibunda serta semua pangeran dan rakyat negeri Tonjang Beru yang aku cintai! Setelah aku pikirkan dengan matang, aku memutuskan bahwa diriku untuk kalian semua. Aku tidak dapat memilih satu di antara banyak pangeran. Diriku telah ditakdirkan menjadi Nyale yang dapat kalian nikmati bersama pada bulan dan tanggal saat munculnya Nyale di permukaan laut.”

Mendengar keputusan sang Putri tersebut, para hadirin tersentak kaget, termasuk Ayahanda dan Ibundanya, karena sang Putri tidak pernah memberitahukan keputusannya itu kepada kedua orang tuanya. Belum sempat Ayahanda dan Ibundanya berkata-kata, tiba-tiba sang Putri menceburkan diri ke dalam laut dan langsung ditelan gelombang. Bersamaan dengan itu pula, angin bertiup kencang, kilat dan petir pun menggelegar. Suasana di pantai itu menjadi kacau-balau. Suara teriakan terdengar di mana-mana. Sesekali terdengar suara pekikan minta tolong. Namun, suasana itu berlangsung tidak lama.

Sesaat kemudian, suasana kembali tenang. Para undangan segera mencari sang Putri di tempat di mana ia menceburkan diri. Tidak ada tanda-tanda keberadaan sang Putri di tempat itu. Ia menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Tak lama kemudian, tiba-tiba bermunculan binatang kecil yang jumlahnya sangat banyak dari dasar laut. Binatang yang berbentuk cacing laut itu memiliki warna yang sangat indah, perpaduan warna putih, hitam, hijau, kuning dan coklat. Binatang itu disebut dengan Nyale.

Seluruh masyarakat yang menyaksiksan peristiwa itu meyakini bahwa Nyale tersebut adalah jelmaan Putri Mandalika. Sesuai pesan sang Putri, mereka pun beramai-ramai dan berlomba-lomba mengambil binatang itu sebanyak-banyaknya untuk dinikmati sebagai tanda cinta kasih kepada sang Putri.

***********

Cerita rakyat di atas merupakan cerita teladan yang mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu nilai moral yang sangat menonjol dalam cerita di atas adalah sifat rela berkorban. Sifat ini tercermin pada sifat Putri Mandalika ketika ia rela mengorbankan jiwa dan raganya demi menghindari terjadinya peperangan antara beberapa kerajaan yang dapat mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa. Ia lebih memilih mengorbankan jiwanya daripada mengorbankan jiwa orang banyak.

Selain itu, cerita rakyat di atas juga merupakan cerita yang telah melegenda di kalangan masyarakat Lombok Tengah yang menceritakan tentang asal-mula upacara atau pesta Bau Nyale (menangkap cacing), terutama di kalangan masyarakat suku-bangsa Sasak. Hingga kini, masyarakat setempat menyelenggarakan upacara Bau Nyale setiap setahun sekali, yaitu antara bulan Februari dan Maret.

Upacara Bau Nyale ini telah menjadi salah satu daya tarik yang banyak ditunggu-tunggu oleh para wisatawan mancanegara. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Tengah menjadikan upacara Bau Nyale ini sebagai aset budaya yang penyelenggaraannya telah menjadi koor event kegiatan budaya nasional.

Tradisi upacara Bau Nyale yang diwariskan secara turun-temurun oleh suku Sasak ini sudah ada sebelum abad ke-16 Masehi. Pada saat acara Bau Nyale akan dilangsungkan, sejak sore hari masyarakat setempat beramai-ramai menangkap Nyale si sepanjang pesisir Selatan Pulau Lombok, terutama di Pantai Seger Kuta, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Sejak berkembangnya pariwisata, khususnya wisata pantai di Lombok, upacara Bau Nyale selalu dirangkaikan dengan berbagai kesenian tradisional seperti Betandak (berbalas pantun), Bejambik (pemberian cendera mata kepada kekasih), serta Belancaran (pesiar dengan perahu), dan tidak ketinggalan pula pementasan drama kolosal Putri Mandalika. Upacara Bau Nyale tersebut biasanya dihadiri oleh para pejabat daerah setempat hingga Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan bahkan tidak sedikit yang datang dari Jakarta.

Upacara Bau Nyale sudah menjadi tradisi masyarakat setempat yang sulit untuk ditinggalkan, sebab mereka meyakini bahwa upacara ini memiliki tuah yang dapat mendatangkan kesejahteraan bagi yang menghargainya dan mudarat (bahaya) bagi orang yang meremehkannya.

Menurut keyakinan masyarakat Sasak, Annelida laut yang sering juga disebut cacing palolo (Eunice Fucata) ini dapat membawa kesejahteraan dan keselamatan, khususnya untuk kesuburan tanah pertanian agar dapat menghasilkan panen yang memuaskan. Nyale yang telah mereka tangkap di pantai, biasanya mereka taburkan ke sawah untuk kesuburan padi. Selain itu, Nyale tersebut mereka gunakan untuk berbagai keperluan seperti santapan (Emping Nyale), lauk-pauk, obat kuat dan lainnya yang bersifat magis sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Secara ilmiah, cacing Nyale yang pernah diteliti mengandung protein hewani yang sangat tinggi. Di samping itu, Dr. dr. Soewignyo Soemohardjo dalam penelitiannya menemukan bahwa cacing Nyale dapat mengeluarkan suatu zat yang sudah terbukti mampu membunuh kuman-kuman.

Secara sosial-budaya, berdasarkan sebuah survey di kalangan petani Lombok Tengah, bahwa 70,6 persen responden yang membuang daun bekas pembungkus Nyale (daun pembungkus pepes Nyale) ke sawah dapat menambah kesuburan tanah dan meningkatkan hasil pertanian penduduk setempat. Di samping itu, masyarakat setempat juga meyakini bahwa apabila banyak Nyale yang keluar, hal itu menandakan pertanian penduduk akan berhasil.

Namun yang terpenting dalam kegiatan Bau Nyale ini adalah fungsi solidaritas dan kebersamaan dalam kelompok masyarakat di Lombok Tengah yang terus mereka pertahankan, di samping melestarikan nilai-nilai tradisional dan budaya daerah mereka.



Kerajaan Selaparang


Selaparang dialihkan ke halaman ini, untuk nama bandara kunjungi Bandar Udara Selaparang.
Kerajaan Selaparang adalah salah satu kerajaan yang pernah ada di Pulau Lombok. Pusat kerajaan ini di masa lampau berada di Selaparang (sering pula diucapkan dengan Seleparang), yang saat ini kurang lebih lebih berada di desa Selaparang, kecamatan Swela, Lombok Timur.
Sejujurnya minim sekali yang dapat diketahui tentang sejarah Kerajaan Selaparang, terutama sekali tentang awal mula berdirinya. Namun, tentu saja terdapat beberapa sumber objektif yang cukup dapat dipercaya. Salah satunya adalah kisah yang tercatat di dalam daun Lontar yang menyebutkan bahwa berdirinya Kerajaan Selaparang tidak akan pernah bisa dilepaskan dari sejarah masuknya atau proses penyebaran agama Islam di Pulau Lombok.[1]

Sejarah

Berdirinya Selaparang

Disebutkan di dalam daun Lontar tersebut bahwa agama Islam salah satunya (bukan satu-satunya) pertama kali dibawa dan disebarkan oleh seorang muballigh dari kota Bagdad, Iraq, bernama Syaikh Sayyid Nururrasyid Ibnu Hajar al-Haitami. Masyarakat Pulau Lombok secara turun-temurun lebih mengenal beliau dengan sebutan Ghaos Abdul Razak. Nah, beliau inilah, selain sebagai penyebar agama Islam, dipercaya juga sebagai cikal bakal Sulthan-Sulthan dari kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Lombok.[2] Namun selain beliau, Betara Tunggul Nala (disebut pula Nala Segara) diyakini pula sebagai leluhur Sulthan-Sulthan di Pulau Lombok.
Betara Nala memiliki seorang putra bernama Deneq Mas Putra Pengendeng Segara Katon Rambitan yang bernama asli Sayyid Abdrurrahman. Beliau ini dikenal pula dengan nama Wali Nyatok. Ia disebut sebagai pendiri Kerajaan Kayangan yang merupakan cikal bakal Kerajaan Selaparang. Namun, ketinggian ilmu tarekatnya telah mendorongnya untuk mengundurkan diri dari panggung Kerajaan Kayangan dan kemudian menetap di desa Rambitan, Lombok Tengah, sebagai penyebar agama Islam di wilayah ini.[3] Wali Nyatok ini di Pulau Bali terkenal dengan nama Pedanda Sakti Wawu Rauh atau Dang Hyang Dwijendra. Adapun di Sumbawa terkenal dengan nama Tuan Semeru, sedangkan di Pulau Jawa beliau bernama Aji Duta Semu atau Pangeran Sangupati. Ia dikenal sebagai penyebar agama Islam, pun dianggap sebagai seorang Wali Allah. Ia mengarang kitab Jatiswara, Prembonan, Lampanan Wayang, Tasawuf dan Fiqh. Dalam proses menyebarkan agama Islam, salah satu media yang digunakannya adalah Wayang, sebagaimana yang dilakukan pula oleh Sunan Kalijaga. Adapun bentuk mistik Islam yang dibawanya merupakan kombinasi (sinkretisme) antara mistisme Islam (Sufisme) dengan salah satu ajaran filsafat Hindu, yaitu Advaita Vedanta.[4]
Kembali ke soal Kerajaan Selaparang dan Ghaos Abdul Razak. Tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya beliau masuk ke Pulau Lombok. Namun pendapat terkuat menyebutkan bahwa beliau datang ke Pulau Lombok untuk pertama kalinya sekitar tahun 600-an Hijriyah atau abad ke-13 Masehi (antara tahun 1201 hingga 1300 Masehi). Ghaos Abdul Razak mendarat di Lombok bagian utara yang disebut dengan Bayan. Beliaupun menetap dan berda'wah di sana. Beliau kemudian menikah dan lahirlahi tiga orang anak, ya'ni Sayyid Umar, yang kemudian menjadi datu Kerajaan Gunung Pujut, Sayyid Amir, yang kemudian menjadi datu Kerajaan Pejanggik, dan Syarifah Qomariah atau yang lebih terkenal dengan sebutan Dewi Anjani.[5]
Kemudian Ghaos Abdul Razak menikah lagi dengan seorang putri dari Kerajaan Sasak yang melahirkan dua orang anak, ya'ni seorang putra bernama Sayyid Zulqarnain (dikenal juga dengan sebutan Syaikh 'Abdul Rahman) atau disebut pula dengan Ghaos 'Abdul Rahman, dan seorang putri bernama Syarifah Lathifah yang juluki pula dengan Denda Rabi'ah. Sayyid Zulqarnain inilah yang kemudian mendirikan Kerajaan Selaparang sekaligus pula sebagai Datu (raja) pertama dengan gelar Datu Selaparang atau Sulthan Rinjani.[6]
Nah, sampai disini sudah terdapat dua versi, yakni antara Nala Segara (Betara Tunggul Nala) dan Ghaos Abdul Razak yang sama-sama dipercaya sebagai penyebar agama Islam, menjadi cikal bakal Sulthan-Sulthan Lombok dan pendiri Kerajaan Selaparang. Pertanyaan yang agak menggelitik kemudian adalah: Tidakkah keduanya memang orang yang sama? Tidakkah yang dimaksud sebagai Nala Segara itu sebagai Ghaos Abdul Razak, dan Wali Nyatok adalah Ghaos 'Abdul Rahman. Hal itu masih dimungkinkan mengingat pada masa dahulu seorang tokoh seringkali menggunakan nama-nama berbeda ditempat yang berbed

Kejayaan Selaparang

Kerajaan Selaparang tergolong kerajaan yang tangguh, baik di darat maupun di laut. Laskar lautnya telah berhasil mengusir Belanda yang hendak memasuki wilayah tersebut sekitar tahun 1667-1668 Masehi. Namun demikian, Kerajaan Selaparang harus rnerelakan salah satu wilayahnya dikuasai Belanda, yakni Pulau Sumbawa, karena lebih dahulu direbut sebelum terjadinya peperangan laut. Di samping itu, laskar lautnya pernah pula mematahkan serangan yang dilancarkan oleh Kerajaan Gelgel (Bali) dari arah barat. Selaparang pernah dua kali terlibat dalam pertempuran sengit melawan Kerajaan Gelgel, yakni sekitar tahun 1616 dan 1624 Masehi, akan tetapi kedua-duanya dapat ditumpas habis, dan tentara Gelgel dapat ditawan dalam jumlah yang cukup besar pula.[7]
Setelah pertempuran sengit tersebut, Kerajaan Selaparang mulai menerapkan kebijaksanaan baru untuk membangun kerajaannya dengan memperkuat sektor agraris. Maka, pusat pemerintahan kerajaan kemudian dipindahkan agak ke pedalaman, di sebuah dataran perbukitan, tepat di desa Selaparang sekarang ini. Dari wilayah kota yang baru ini, panorama Selat Alas yang indah membiru dapat dinikmati dengan latar belakang daratan Pulau Sumbawa dari ujung utara ke selatan dengan sekali sapuan pandangan. Dengan demikian, semua gerakan yang mencurigakan di tengah lautan akan segera dapat diketahui. Wilayah ibukota Kerajaan Selaparang inipun memiliki daerah bagian belakang berupa bukit-bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi, bertingkat-tingkat hingga ke hutan Lemor yang memiliki sumber mata air yang melimpah.[8]
Berbagai sumber menyebutkan, bahwa setelah dipindahkan, Kerajaan Selaparang mengalami kemajuan pesat. Sebuah sumber mengungkapkan, Kerajaan Selaparang dapat mengembangkan kekuasaannya hingga ke Sumbawa Barat. Disebutkan pula bahwa seorang raja muda bernama Sri Dadelanatha, dilantik dengan gelar Dewa Meraja di Sumbawa Barat karena saat itu (1630 Masehi) daerah ini juga masih termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Selaparang. Kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya, yaitu sekitar tanggal 30 November 1648 Masehi, putera mahkota Selaparang bernama Pangeran Pemayaman dengan gelar Pemban Aji Komala, dilantik di Sumbawa menjadi Sulthan Selaparang yang memerintah seluruh wilayah Pulau Lombok dan Sumbawa.[9]

[sunting] Keruntuhan Selaparang

Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan tetangga, yaitu Kerajaan Gelgel, namun pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari bagian barat telah muncul pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Pulau Bali) secara bergelombang, dan selanjutnya mendirikan koloni di kawasan Kota Mataram sekarang ini. Kekuatan itu kemudian secara berangsur-angsur tumbuh berkembang sehingga menjelma menjadi kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan yang berdiri sekitar tahun 1622 Masehi. Kerajaan ini berdiri lima tahun setelah serangan laut pertama Kerajaan Gelgel dari Bali Utara atau dua tahun sebelum serangan ke dua yang dapat ditumpas oleh laskar Kerajaan Selaparang.[10]
Namun, bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul secara tiba-tiba adalah kekuatan asing, yakni Belanda, yang tentunya sewaktu-waktu dapat melakukan ekspansi militer. Kekuatan dan tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu dipatahkan. Oleh sebab itu, sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian barat ini berdiri, hanya diantisipasi dengan menempatkan laskar kecil di bawah pimpinan Patinglaga Deneq Wirabangsa.[11]
Dalam upaya menghadapi masalah yang baru tumbuh dari bagian barat itu yakni Kerajaan Gelgel, Kerajaan Mataram Karang Asem dan terutama sekali Belanda?maka secara tiba-tiba saja, salah seorang tokoh penting di lingkungan pusat kerajaan bernama Arya Banjar Getas, ditengarai berselisih paham dengan rajanya, raja Kerajaan Selaparang, soal posisi pasti perbatasan antara wilayah Kerajaan Selaparang dan Pejanggik. Pada akhirnya Arya Banjar Getas beserta para pengikutnya memutuskan untuk meninggalkan Selaparang dan bergabung dengan sebuah ekspedisi tentara Kerajaan Mataram Karang Asem (Bali) yang mana pada saat itu sudah berhasil mendarat di Lombok Barat. Kemudian atas segala taktiknya, Arya Banjar Getas menyusun rencana dengan pihak Kerajaan Mataram Karang Asem untuk bersama-sama menggempur Kerajaan Selaparang.[12] Pada akhirnya, ekspedisi militer tersebut telah berhasil menaklukkan Kerajaan Selaparang. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1672 Masehi.[13]


Filosofi dan Arsitektur Rumah Adat Sasak


Suku Sasak adalah penduduk asli dan suku mayoritas di Lombok, NTB. Sebagai penduduk asli, suku Sasak telah mempunyai sistem budaya sebagaimana terekam dalam kitab Nagara Kartha Gama karangan Empu Nala dari Majapahit.
Dalam kitab tersebut, suku Sasak disebut “Lomboq Mirah Sak-Sak Adhi.” Jika saat kitab tersebut dikarang suku Sasak telah mempunyai sistem budaya yang mapan, maka kemampuannya untuk tetap eksis sampai saat ini merupakan salah satu bukti bahwa suku ini mampu menjaga dan melestarikan tradisinya.
Salah satu bentuk dari bukti kebudayaan Sasak adalah bentuk bangunan rumah adatnya. Rumah bukan sekadar tempat hunian yang multifungsi, melainkan juga punya nilai estetika dan pesan-pesan filosofi bagi penghuninya, baik arsitektur maupun tata ruangnya.
Rumah adat Sasak pada bagian atapnya berbentuk seperti gunungan, menukik ke bawah dengan jarak sekitar 1,5-2 meter dari permukaan tanah.
Atap dan bubungannya (bungus) terbuat dari alang-alang, dindingnya dari anyaman bambu, hanya mempunyai satu berukuran kecil dan tidak ada jendelanya. Ruangannya (rong) dibagi menjadi inan bale (ruang induk) yang meliputi bale luar (ruang tidur) dan bale dalem berupa tempat menyimpan harta benda, ruang ibu melahirkan sekaligus ruang disemayamkannya jenazah sebelum dimakamkan.
Ruangan bale dalem dilengkapi amben, dapur, dan sempare (tempat menyimpan makanan dan peralatan rumah tangga lainnya) terbuat dari bambu ukuran 2 x 2 meter persegi atau bisa empat persegi panjang. Selain itu ada sesangkok (ruang tamu) dan pintu masuk dengan sistem geser. Di antara bale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga (tiga anak tangga) dan lantainya berupa campuran tanah dengan kotoran kerbau atau kuda, getah, dan abu jerami. Undak-undak (tangga), digunakan sebagai penghubung antara bale luar dan bale dalem.
Hal lain yang cukup menarik diperhatikan dari rumah adat Sasak adalah pola pembangunannya. Dalam membangun rumah, orang Sasak menyesuaikan dengan kebutuhan keluarga maupun kelompoknya. Artinya, pembangunan tidak semata-mata untuk mememenuhi kebutuhan keluarga tetapi juga kebutuhan kelompok.
Karena konsep itulah, maka komplek perumahan adat Sasak tampak teratur seperti menggambarkan kehidupan harmoni penduduk setempat.
Bentuk rumah tradisional Lombok berkembang saat pemerintahan Kerajaan Karang Asem (abad 17), di mana arsitektur Lombok dikawinkan dengan arsitektur Bali.
Selain tempat berlindung, rumah juga memiliki nilai estetika, filosofi, dan kehidupan sederhana para penduduk di masa lampau yang mengandalkan sumber daya alam sebagai tambang nafkah harian, sekaligus sebagai bahan pembangunan rumah. Lantai rumah itu adalah campuran dari tanah, getah pohon kayu banten dan bajur (istilah lokal), dicampur batu bara yang ada dalam batu bateri, abu jerami yang dibakar, kemudian diolesi dengan kotoran kerbau atau kuda di bagian permukaan lantai.
Materi membuat lantai rumah itu berfungsi sebagai zat perekat, juga guna menghindari lantai tidak lembab. Bahan lantai itu digunakan, oleh warga di Dusun Sade, mengingat kotoran kerbau atau sapi tidak bisa bersenyawa dengan tanah liat yang merupakan jenis tanah di dusun itu.
Konstruksi rumah tradisional Sasak agaknya terkait pula dengan perspektif Islam. Anak tangga sebanyak tiga buah tadi adalah simbol daur hidup manusia: lahir, berkembang, dan mati.
Juga sebagai keluarga batih (ayah, ibu, dan anak), atau berugak bertiang empat simbol syariat Islam: Al Quran, Hadis, Ijma’, Qiyas). Anak yang yunior dan senior dalam usia ditentukan lokasi rumahnya.
Rumah orangtua berada di tingkat paling tinggi, disusul anak sulung dan anak bungsu berada di tingkat paling bawah. Ini sebuah ajaran budi pekerti bahwa kakak dalam bersikap dan berperilaku hendaknya menjadi panutan sang adik.
Rumah yang menghadap timur secara simbolis bermakna bahwa yang tua lebih dulu menerima/menikmati kehangatan matahari pagi ketimbang yang muda yang secara fisik lebih kuat. Juga bisa berarti, begitu keluar rumah untuk bekerja dan mencari nafkah, manusia berharap mendapat rida Allah di antaranya melalui shalat, dan hal itu sudah diingatkan bahwa pintu rumahnya menghadap timur atau berlawanan dengan arah matahari terbenam (barat/kiblat).
Tamu pun harus merunduk bila memasuki pintu rumah yang relatif pendek. Mungkin posisi membungkuk itu secara tidak langsung mengisyaratkan sebuah etika atau wujud penghormatan kepada tuan rumah dari sang tamu.
Kemudian lumbung, kecuali mengajarkan warganya untuk hidup hemat dan tidak boros sebab stok logistik yang disimpan di dalamnya, hanya bisa diambil pada waktu tertentu, misalnya sekali sebulan. Bahan logistik (padi dan palawija) itu tidak boleh dikuras habis, melainkan disisakan untuk keperluan mendadak, seperti mengantisipasi gagal panen akibat cuaca dan serangan binatang yang merusak tanaman atau bahan untuk mengadakan syukuran jika ada salah satu anggota keluarga meninggal.
Berugak yang ada di depan rumah, di samping merupakan penghormatan terhadap rezeki yang diberikan Tuhan, juga berfungsi sebagai ruang keluarga, menerima tamu, juga menjadi alat kontrol bagi warga sekitar. Misalnya, kalau sampai pukul sembilan pagi masih ada yang duduk di berugak dan tidak keluar rumah untuk bekerja di sawah, ladang, dan kebun, mungkin dia sakit.
Sejak proses perencanaan rumah didirikan, peran perempuan atau istri diutamakan. Umpamanya, jarak usuk bambu rangka atap selebar kepala istri, tinggi penyimpanan alat dapur (sempare) harus bisa dicapai lengan istri, bahkan lebar pintu rumah seukuran tubuh istri.
Membangun dan merehabilitasi rumah dilakukan secara gotong-royong meski makan-minum, berikut bahan bangunan, disediakan tuan rumah.
Dalam masyarakat Sasak, rumah berada dalam dimensi sakral (suci) dan profan duniawi) secara bersamaan.
Artinya, rumah adat Sasak disamping sebagai tempat berlindung dan berkumpulnya anggota keluarga juga menjadi tempat dilaksanakannya ritual-ritual sakral yang merupakan manifestasi dari keyakinan kepada Tuhan, arwah nenek moyang (papuk baluk) bale (penunggu rumah), dan sebaginya.
Perubahan pengetahuan masyarakat, bertambahnya jumlah penghuni dan berubahnya faktor-faktor eksternal lainya (seperti faktor keamanan, geografis, dan topografis) menyebabkan perubahan terhadap fungsi dan bentuk fisik rumah adat. Hanya saja, konsep pembangunannya seperti arsitektur, tata ruang, dan polanya tetap menampilkan karakteristik tradisionalnya yang dilandasi oleh nilai-nilai filosofis yang ditransmisikan secara turun temurun.
Pemilihan Waktu dan Lokasi
Untuk memulai membangun rumah, dicari waktu yang tepat, berpedoman pada papan warige yang berasal dari Primbon Tapel Adam dan Tajul Muluq. Tidak semua orang mempunyai kemampuan untuk menentukan hari baik, biasanya orang yang hendak membangun rumah bertanya kepada pemimpin adat.
Orang Sasak di Lombok meyakini bahwa waktu yang baik untuk memulai membangun rumah adalah pada bulan ketiga dan bulan kedua belas penanggalan Sasak, yaitu bulan Rabiul Awal dan Zulhijjah pada kalender Islam. Ada juga yang menentukan hari baik berdasarkan nama orang yang akan membangun rumah. Sedangkan bulan yang paling dihindari (pantangan) untuk membangun rumah adalah pada bulan Muharram dan Ramadlan.
Pada kedua bulan ini, menurut kepercayaan masyarakat setempat, rumah yang dibangun cenderung mengundang malapetaka, seperti penyakit, kebakaran, sulit rizqi, dan sebagainya.
Selain persoalan waktu baik untuk memulai pembangunan, orang Sasak juga selektif dalam menentukan lokasi tempat pendirian rumah. Mereka meyakini bahwa lokasi yang tidak tepat dapat berakibat kurang baik kepada yang menempatinya. Misalnya, mereka tidak akan membangun tumah di atas bekas perapian, bekas tempat pembuangan sampah, bekas sumur, dan pada posisi jalan tusuk sate atau susur gubug.
Selain itu, orang Sasak tidak akan membangun rumah berlawanan arah dan ukurannya berbeda dengan rumah yang lebih dahulu ada. Menurut mereka, melanggar konsep tersebut merupakan perbuatan melawan tabu (maliq-lenget).
Sementara material yang dibutuhkan untuk membangun rumah antara lain: kayu-kayu penyangga, bambu, anyaman dari bambu untuk dinding, jerami dan alang-alang digunakan untuk membuat atap, kotaran kerbau atau kuda sebagai bahan campuran untuk mengeraskan lantai, getah pohon kayu banten dan bajur, abu jerami, digunakan sebagai bahan campuran untuk mengeraskan lantai.


Rumah Adat Sasak

Suku Sasak adalah penduduk asli dan suku mayoritas di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Salah satu bukti hasil kebudayaan masyarakat Sasak adalah bentuk bangunan rumah adat mereka.

Bagian atap rumah adat Sasak berbentuk seperti gunungan, menukik ke bawah dengan jarak 1,5 sampai 2 meter dari permukaan tanah.

Atap rumah itu terbuat dari alangalang serta dindingnya dari bambu yang dianyam. Di bagian dalam ada beberapa ruangan yang terbagi menjadi inan bale (ruang induk), meliputi bale luar (ruang tidur) dan bale dalem sebagai tempat menyimpan harta benda, ruang ibu melahirkan sekaligus ruang persemayaman jenazah sebelum dimakamkan.

Ruangan bale dalem dilengkapi amben, dapur, dan sempare (tempat menyimpan makanan dan peralatan rumah tangga lainnya), terbuat dari bambu berukuran 2 x 2 meter persegi.

Bentuk ruangan itu bisa pula empat persegi panjang. Di bale dalem juga terdapat sesangkok atau ruang tamu dan pintu masuk dengan sistem geser.

Di antara bale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga dan lantainya berupa campuran tanah dengan kotoran kerbau atau kuda, getah, dan abu jerami.

Materi pembuat lantai rumah itu tidak hanya berfungsi sebagai zat perekat, tetapi juga untuk membuat lantai tidak lembap. Undak-undakan atau tangga digunakan sebagai penghubung antara bale luar dan bale dalem.

Hal lain yang cukup menarik dari rumah adat Sasak ialah pola pembangunannya. Dalam membangun rumah, suku Sasak menyesuaikannya dengan kebutuhan keluarga serta kelompok.

Karena konsep itulah, kompleks perumahan adat Sasak tampak teratur sesuai dengan penggambaran kehidupan penduduk setempat yang harmonis.

Konstruksi rumah tradisional Sasak terkait pula dengan perspektif Islam. Anak tangga sebanyak tiga buah merupakan simbol daur hidup manusia, yakni lahir, berkembang, dan mati.

Rumah orang tua berada di tingkat paling tinggi, disusul anak sulung dan anak bungsu yang berada di tingkat paling bawah.

Hal itu menggambarkan ajaran budi pekerti bahwa kakak dalam bersikap dan berperilaku hendaknya menjadi panutan sang adik.

Sejak proses perencanaan pendirian rumah, kebutuhan kaum perempuan atau istri selalu diutamakan. Hal itu tecermin dari pembuatan bambu rangka atap yang disesuaikan dengan ukuran kepala istri.

Begitu pun halnya dengan tempat penyimpanan alat dapur yang tingginya harus bisa dicapai lengan istri. Lebar pintu rumah dibuat pula sesuai dengan ukuran tubuh istri.
mer/L-2


Sasak Traditional Dress
Penulis Aat Soeratin
Diperkirakan sejak abad XIV masyarakat Sasak telah mengenal teknik menenun kain. Konon, pengetahuan itu dibawa para pedagang Gujarat dari India. Dan ketika keterampilan menenun semakin dikuasai, estetika pun berkembang, lalu terciptalah corak hias simbolik, pada bentangan kain-kain tenunan mereka, yang dieksplorasi dari kehidupan alam sekitar dan mitologi. Stilasi pohon mawar, burung, ular naga, tokoh pewayangan, kerap muncul menjadi ragam hias yang artistik pada tenunan masyarakat Sasak. Corak hias pada kain untuk perempuan pun dibedakan dengan ragam hias kain bagi laki-laki. Bahkan kemudian ditumbuhkan kepercayaan jika kaum lelaki memakai kain dengan corak hias yang sesungguhnya diperuntukkan bagi kaum perempuan - begitu pula sebaliknya - maka pemakainya akan ditimpa kemalangan, misalnya saja kehilangan kewibawaan, kesaktian, dan semacamnya. Kain-kain tenun inilah yang digunakan sebagai busana adat, sehari-hari maupun upacara, masyarakat Sasak.
Busana Adat Sehari-hari
Persentuhan dengan suku Bali yang datang sekitar abad XVI, seperti yang telah disinggung di muka, memberikan nuansa pada tata cara berbusana adat keseharian suku Sasak, meski tentu, tak menghilangkan identitas jatidirinya. Untuk mengikuti acara adat, misalnya upacara potong gigi, upacara kematian, menghadiri perkawinan, masyarakat Sasak mengenakan busana yang khusus dirancang untuk keperluan tersebut.
Kaum perempuan mengenakan lamung (baju) berwarna hitam yang modelnya relatif sederhana: selembar kain dilipat sehingga berbentuk segi empat lalu diberi "lubang leher" berbentuk segi tiga, dan pertemuan kedua sisinya dijahit sehingga hasil akhirnya menjadi semacam kebaya longgar berlengan pendek, panjangnya sebatas pinggang. Busana bagian bawahnya adalah kemben (sarung) yang juga berwarna hitam dan pada bagian tertentu diberi hiasan motif flora. Untuk memperkuat kemben dipakai sabuk anteng (ikat pinggang). Sebagai pelengkap penampilan dipakai aksesori berupa sengkang (anting-anting), teken ima (gelang tangan), dan teken nae (gelang kaki).
Para lelaki memakai kelambi (baju) model kemeja pria berlengan pendek atau panjang. Dipadukan dengan kereng (kain panjang) yang dililitkan seputar pinggang, memanjang hingga sebatas betis dan pada bagian muka ujung kain dibuat berlipat-lipat menjuntai hingga hampir menyentuh tanah. Penahan kereng adalah lilitan kain, berfungsi seperti ikat pinggang, disebut bebet. Pada kening tersaput ikat kepala, dinamai sapu, biasanya berwarna hitam tapi tak jarang menggunakan kain batik.
Busana Pengantin Sasak



Yang akan diuraikan berikut ini adalah busana pengantin yang umum dikenakan oleh masyarakat Sasak. Mempelai wanitanya memakai tangkong (baju) semacam kebaya yang biasanya berwarna hitam polos, tapi dalam perkembangannya ada yang diberi imbuhan hiasan pada pinggiran bajunya. Sebagai pakaian bawahya dipakai kain panjang yang disebut kereng. Yang banyak dipakai adalah kain songket. Hiasan pelengkap penampilannya adalah kancing baju (buak tangkong) emas, kalung emas, ikat pinggang (gendit/pending) emas, gelang tangan (teken), ali-ali (cincin), dan gelang kaki (teken nae).
Pengantin pria mengenakan kelambi dari bahan yang sama dengan mempelai wanita, bermodel jas tutup dengan potongan agak meruncing pada bagian bawah belakangnya, untuk mempermudah menyengkelitkan keris. Kereng (kain panjang) yang dipakai adalah songket dengan motif khas Lombok. Kemudian ditambahkan dodot (kampuh), kain yang biasanya bercorak sama dengan yang dipakai pengantin wanita. Kelengkapan lainnya adalah sapu (destar/ikat kepala) dari kain songket yang biasanya diberi tambahan hiasan keemasan yang diselipkan pada ikatan sapu bagian depan. Dan dari balik punggungnya, sedikit melewai bahu sebelah kanan, tersembul keris panjang.
Sasak Traditional Dress
Penulis Aat Soeratin
Diperkirakan sejak abad XIV masyarakat Sasak telah mengenal teknik menenun kain. Konon, pengetahuan itu dibawa para pedagang Gujarat dari India. Dan ketika keterampilan menenun semakin dikuasai, estetika pun berkembang, lalu terciptalah corak hias simbolik, pada bentangan kain-kain tenunan mereka, yang dieksplorasi dari kehidupan alam sekitar dan mitologi. Stilasi pohon mawar, burung, ular naga, tokoh pewayangan, kerap muncul menjadi ragam hias yang artistik pada tenunan masyarakat Sasak. Corak hias pada kain untuk perempuan pun dibedakan dengan ragam hias kain bagi laki-laki. Bahkan kemudian ditumbuhkan kepercayaan jika kaum lelaki memakai kain dengan corak hias yang sesungguhnya diperuntukkan bagi kaum perempuan - begitu pula sebaliknya - maka pemakainya akan ditimpa kemalangan, misalnya saja kehilangan kewibawaan, kesaktian, dan semacamnya. Kain-kain tenun inilah yang digunakan sebagai busana adat, sehari-hari maupun upacara, masyarakat Sasak.
Busana Adat Sehari-hari
Persentuhan dengan suku Bali yang datang sekitar abad XVI, seperti yang telah disinggung di muka, memberikan nuansa pada tata cara berbusana adat keseharian suku Sasak, meski tentu, tak menghilangkan identitas jatidirinya. Untuk mengikuti acara adat, misalnya upacara potong gigi, upacara kematian, menghadiri perkawinan, masyarakat Sasak mengenakan busana yang khusus dirancang untuk keperluan tersebut.
Kaum perempuan mengenakan lamung (baju) berwarna hitam yang modelnya relatif sederhana: selembar kain dilipat sehingga berbentuk segi empat lalu diberi "lubang leher" berbentuk segi tiga, dan pertemuan kedua sisinya dijahit sehingga hasil akhirnya menjadi semacam kebaya longgar berlengan pendek, panjangnya sebatas pinggang. Busana bagian bawahnya adalah kemben (sarung) yang juga berwarna hitam dan pada bagian tertentu diberi hiasan motif flora. Untuk memperkuat kemben dipakai sabuk anteng (ikat pinggang). Sebagai pelengkap penampilan dipakai aksesori berupa sengkang (anting-anting), teken ima (gelang tangan), dan teken nae (gelang kaki).
Para lelaki memakai kelambi (baju) model kemeja pria berlengan pendek atau panjang. Dipadukan dengan kereng (kain panjang) yang dililitkan seputar pinggang, memanjang hingga sebatas betis dan pada bagian muka ujung kain dibuat berlipat-lipat menjuntai hingga hampir menyentuh tanah. Penahan kereng adalah lilitan kain, berfungsi seperti ikat pinggang, disebut bebet. Pada kening tersaput ikat kepala, dinamai sapu, biasanya berwarna hitam tapi tak jarang menggunakan kain batik.
Busana Pengantin Sasak



Yang akan diuraikan berikut ini adalah busana pengantin yang umum dikenakan oleh masyarakat Sasak. Mempelai wanitanya memakai tangkong (baju) semacam kebaya yang biasanya berwarna hitam polos, tapi dalam perkembangannya ada yang diberi imbuhan hiasan pada pinggiran bajunya. Sebagai pakaian bawahya dipakai kain panjang yang disebut kereng. Yang banyak dipakai adalah kain songket. Hiasan pelengkap penampilannya adalah kancing baju (buak tangkong) emas, kalung emas, ikat pinggang (gendit/pending) emas, gelang tangan (teken), ali-ali (cincin), dan gelang kaki (teken nae).
Pengantin pria mengenakan kelambi dari bahan yang sama dengan mempelai wanita, bermodel jas tutup dengan potongan agak meruncing pada bagian bawah belakangnya, untuk mempermudah menyengkelitkan keris. Kereng (kain panjang) yang dipakai adalah songket dengan motif khas Lombok. Kemudian ditambahkan dodot (kampuh), kain yang biasanya bercorak sama dengan yang dipakai pengantin wanita. Kelengkapan lainnya adalah sapu (destar/ikat kepala) dari kain songket yang biasanya diberi tambahan hiasan keemasan yang diselipkan pada ikatan sapu bagian depan. Dan dari balik punggungnya, sedikit melewai bahu sebelah kanan, tersembul keris panjang.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar